BAB
I
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketenangan hidup
di dunia adalah dambaan setiap orang akan tetapi banyak manusia yang
hidupnya penuh dengan kegelisahan,
ketakutan, kecemasan, adanya kebencian dengan orang lain, dan keadaan lainnya
yang tidak diinginkan. Diantara hal terbesar untukmendapatkan ketenangan hidup
adalah ketika kita hidup di tengah-tengah manusia dalam keadaan dicintai Allah
dan juga dicintai manusia. Merupakan prinsip dasar Islam, bahwa seorang muslim
wajib mengikatkan perbuatannya dengan hukum syara’, sebagai konsekuensi
keimanannya pada Islam. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak sempurna iman salah seorang
dari kamu, hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (Islam).” (HR.
Al-Baghawi)[1] Maka
dari itu, sudah seharusnya dan sewajarnya seorang muslim mengetahui
perkara-perkara yang halal-haram, serta subhat perbuatan yang dilakukannya, dan
benda-benda yang digunakannya untuk memenuhi kebutuhannya. Termasuk dalam hal
ini, halal-haramnya makanan, obat, dan kosmetik.
Akan tetapi, penentuan status halal haramnya suatu
makanan, obat, atau kosmetik kadang bukan perkara mudah. Di satu sisi, para
ulama mungkin belum seluruhnya menyadari betapa kompleksnya produk pangan,
obat, dan kosmetik dewasa ini. Asal usul bahan bisa melalui jalur yang berliku-liku,
banyak jalur. Bahkan dalam beberapa kasus, sulit ditentukan asal bahannya. Di
sisi lain, pemahaman para ilmuwan terhadap syariah Islam, ushul fiqih dan
metodologi penentuan halam haramnya suatu bahan pangan dari sisi syariah,
relatif minimal. Dengan demikian seharusnya para ulama mencoba memahami
kompleksnya produk pangan, obat, dan kosmetik. Sedangkan ilmuwan muslim, sudah
seharusnya menggali kembali pengetahuan syariahnya, di samping membantu ulama
memahami kompleksitas masalah yang ada. Rasulullah sendiri mengemukakan
perhara-perkara yang halal, haram dan subhat, yang wajib di perhatikan oleh
kaum muslim.
B. Rumusan Masalah
Ø Apa dalil hadis tentang perkara yang
halal, haram dan subhat...?
Ø Apa saja perkara-perkara yang
diharamkan...?
Ø Bagaimana bentuk atau ciri-ciri makanan
dan binatang yang diharamkan oleh Islam...?
C. Tujuan Penulisan
Adapun Tujuan penulisan makalah ini adalah :
Ø Mahasiswa mampu membedakan perkara yang
halal, haram dan subhat.
Ø Mahasiswa mampu meneliti makanan,
minuman, dan binatang yang diharamkan oleh Islam, baik dari segi Zat nya,
bentuknya, dan sipatnya.
Ø Mahasiswa mampu mengambil suatu
kesimpulan hukum, tentang perkara itu, halalkah, haramkah, atau bahkan subhat.
BAB II
PEMBAHASAN
HALAL,HARAM DAN SUBHAT
Lapaz
Hadist
عن النعمان بْنَ بَشِيررَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا قال : سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ- إِنَّ
اَلْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ اَلْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا
يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ اَلنَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى اَلشُّبُهَاتِ فَقَدِ
اِسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي اَلشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي
اَلْحَرَامِ, كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ اَلْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيهِ
أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا وَإِنَّ حِمَى اَللَّهِ مَحَارِمُهُ أَلَا
وَإِنَّ فِي اَلْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ اَلْجَسَدُ كُلُّهُ
وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ اَلْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ اَلْقَلْبُ . متفق عليه
Terjemahnya
Dari
Abu Nu’mam bin basyir r.a. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas.
Namun diantara keduanya ada perkara syubhat (samar) yang tidak diketahui oleh
banyak orang. Maka barangsiapa yang menjauhi diri dari yang syubhat berarti
telah memelihara agamanya dan kehormatannya. Dan barang siapa yang sampai jatuh
(mengerjakan) pada perkara-perkara syubhat, sungguh dia seperti seorang
penggembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang yang dikhawatirkan
akan jatuh ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki batasan
(larangan), dan ketahuilah bahwa batasan larangan Allah di bumi-Nya adalah
apa-apa yang diharamkan-Nya. Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal
darah yang apabila baik maka baiklah seluruh tubuh tersebut dan apabila rusak
maka rusaklah seluh tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati”.[2]
Penjelasan
إِنَّ اْلحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ اْلحَرَامَ بَيِّنٌ
وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ
"Sesungguhnya yang halal itu sudah jelas dan yang haram itu sudah
jelas pula, serta di antara keduanya terdapat perkara-perakara yang
syubhat…."
Kalimat,
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara
keduanya ada perkara yang samar-samar” maksudnya segala sesuatu terbagi kepada
tiga macam hukum. Yaitu:
Ø Sesuatu yang ditegaskan halalnya oleh Allah, maka
dia adalah halal, seperti firman Allah :
ياايها الناس كلوا مما فى الارض حلا
لا طيبا ولا تتبعوا خطوات الشيطان. انه لكم عدو مبين. البقرة : 168
“wahai sekalian manusia, makanlah sebagian dari makanan yang ada
dibumi ini, yang halal dan baik dan janganlah kamu menurut jejak langkah setan,
sesungguhnya setan itu adalah musuh kamu yang nyata”.(Al-Baqarah
: 168)
وكلوا مما رزقكم الله حللا طيبا واتقوا الله
الذي انتم به موءمنون. الماءدة :
88
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa
yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepadanya”. (Al-Maidah : 88)
Ø Adapun yang Allah nyatakan dengan tegas haramnya,
maka dia menjadi haram, seperti firman Allah.
ان الذين ياءكلون اموال اليتمي ظلما انما ياءكلون فى بطونهم
نارا, وسيصلون سعيرا.
النساء : 10
“Sesungguhnya orang-orang yang
makan harta anak-anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api
neraka sepenuh perut mereka dan mereka akan masuk kedalam neraka sa’ir.(An-Nisa’
: 10)
كل لحم نبت من حرام فالنار اولى به.
رواه الترمذي
"Semua
daging yang tumbuh dari harta yang haram, maka api neraka adalah lebih utama”.(Riwayat
tarmizi)[3]
Adapun
yang syubhat yaitu setiap hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan atau
perselisihkan. Para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat yang
diisyaratkan Rasulullah. Pada hadits tersebut, sebagian Ulama berpendapat bahwa
hal semacam itu haram hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah, “siapa menjaga
dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan
kehormatannya”. Siapa yang tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti
dia telah terjerumus kedalam perbuatan haram. Sebagian yang lain berpendapat
bahwa hal yang syubhat itu hukumnya halal dengan alasan sabda Rasulullah,
“seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang” kalimat ini
menunjukkan bahwa syubhat itu pada dasarnya halal, tetapi meninggalkan yang
syubhat adalah sifat yang wara’. Sebagian lain lagi berkata bahwa syubhat yang
tersebut pada hadits ini tidak dapat dikatakan halal atau haram, karena
Rasulullah menempatkannya diantara halal dan haram.
A. Halal
Halal adalah suatu istilah dalam
ilmu yang berhubungan dengan ketentuan hukum, yaitu sesuatu atau
perkara-perkara yang dibolekan, dianjurkan, bahkan diwajibkan oleh syara’. Ibnu
Mas’ud r.a meriwayatkan bahwasannya Rasulullah Saw bersabda,”Mencari kehidupan
yang halal adalah fardu bagi setiap Muslim. Jadi dapat disimpulkan bahwa
mencari rizki yang halal hukumnya wajib bagi umat Muslim. Orang-orang yang
telah dikekuasai oleh kemalasan menganggap saat ini tidak ada lagi yang halal,
sehingga ia melakukan apa saja yang diinginkannya. Padahal ini adalah suatu
kebodohan. Sebab Rasulullah telah menggambarkan mana yang halal dan mana yang
haram.[4] Ada pin-poin penting yang harus
diperhatikan atau dipahami dalam masalah ini :
Ø Keutamaan mencari rizki yang halal
Dalam
Al-Qur’an surah Al-Mu’minin ayat 51, Allah telah menyatakan :
كلوا من الطيبت واعلموا صالحا.
الموءمنون : 51
“makanlah
olehmu makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal Shaleh”.
Dalam ayat di atas kita
diperintahkkan oleh Allah untuk memakan makanan yang baik-baik (halal), itu
berarti kita disuruh untuk berusaha dan berkerja mencari makanan yang halal.
Hal ini sama dengan kita diperintahkan untuk shalat berarti kita diperintahkan
untuk melaksanakan wudhu. Dalam qaidah ushul fiqih telah disebutkan “memerintah
terhadap sesuatu, berarti memerintah kepada hubungannya”.
Mencari rizki yang halal dalam
rangka untuk mencukupi kebutuhan pribadinya dan keluarganya, adalah suatu hal
yang sangat terpuji bahkan dapat terampuni dosa-dosanya. Berdasarkan hadist
Rasulullah Saw, yang berbunyi :
من امسى كالا من عمل الحلال امس
مغفورا له.
“Barang siapa
yang merasa payah (penat) karena bekerja sehari untuk mencari rizki yang halal,
niscaya akan diampuni segala dosanya”.
Oleh karena itu, marilah kita semua
giat dalam mencari rizki yang halal dengan disertai niat untuk memelihara
agamanya. Karna mencari rizki yang halal adalah kewajiban setiap muslim.
Rasulullah sendiri pernah bersabda : “mencari rizki yang halal adalah fardhu
sesudah fardhu menunaikan shalat.
Ø Memakan
makanan yang halal dapat menambah cahaya iman
Memakan halal itu adalah baik, dan
juga menghasilkan yang baik pula. Seorang yang selalu membiasakan memakan harta
yang halal akan menambah cahaya dan sinar keimanan pada hati, juga akan
menimbulkan kekhusuan terhadap kebesan Allah Swt, menggiatkan seluruh anggota
badan untuk beribadah dan taat, mengurangi kecenderungan hati pada dunia serta
menambah keingatan pada hari kiamat.
Ø Asal
sesuatu benda yang ada di dunia adalah halal
Segala sesuatu yang diciptakan oleh
Allah dimuka bumi ini pada asalnya adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun
yang haram, kecuali karena ada Nas yang syah dan tegas dari syar’i, yaitu Allah
dan Rasulnya yang mengharamkannya. Apabila tidak ada nas yang melarangnya maka
hukumnya kembali kepada asalnya yaitu mubah. Seperti yang terdapat dalam Qaedah
Ushul Fiqih : الاصل في الاسياء الاباحة مالم يرد دليل التحريم- (hukum asal benda adalah mubah selama tidak terdapat dalil
yang mengharamkannya).[5]
Yang dimaksud asy-ya` (sesuatu) dalam kaidah itu adalah materi-materi yang digunakan
manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Perbuatan atau aktivitas manusia tidak
termasuk di dalamnya. Penerapan kaidah itu misalnya bagaimana status hukum
hewan yang tidak ada keterangannya, apakah halal atau haram. Dalam hal ini,
ditetapkan hukum asalnya, yaitu mubah. As-Subki mencontohkan, jerapah hukumnya
halal, berdasarkan prinsip ini.[6]
B. Haram
Sebagai lawan dari yang halal adalah
haram. Suatu iistilah dalam ilmu yang berhubungan dengan ketentuan hukum, yaitu
sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’. Berdosa jika
mengerjakannya dan berpahala jika meninggalkannya. Terhadap sesuatu barang yang
diharamkan, baik haramnya zatnya, hasil dari yang haram, kita disuruh Allah
untuk menjauhi sejauh-jauhnya. Sebab dengan makanan barang atau sesuatu yang
haram berakibat terdindingnya doa kita, sekaligus dapat menggelapkan hati kita
untuk cenderung kepada hal-hal yang baik, bahkan dapat mencampakkan diri ke
dalam neraka. Allah berfirman :
ان الذين ياءكلون اموال اليتمي ظلما
انما ياءكلون فى بطونهم نارا, وسيصلون سعيرا. النساء : 10
“Sesungguhnya orang-orang yang
makan harta anak-anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api
neraka sepenuh perut mereka dan mereka akan masuk kedalam neraka sa’ir.(An-Nisa’
: 10)
Ibnu Abbas r.a berkata, ”Allah
tidak akan menerima shalat seorang diantara kamu, selagi didalam perutnya
terdapat sesuap makanan dari yang haram”. Dalam kitab Taurat ada disebutkan
“barang siapa yang tidak menghiraukan dari mana sumber makanannya, niscaya
Allah tidak akan menghiraukan pula pintu mana ia akan dimasukkan kedalam
neraka”.
Sufyan Ats-Tsauri berkata :
“perumpamaan orang yang membelanjakan hartanya dalam ketaatan kepada Allah,
laksana orang yang mencucikan baju yang bernajis dengan air kencing. Tentulah
perbuuatan itu tidak akan dapat membersihkan baju itu, malah bertambah kotor
lagi”.[7] Meskipun
seseorang berbuat untuk ketaatan, seperti sedekah, infaq, ataupun selainnya,
tidak akan diterima oleh Allah ta’ala. Nabi bersabda :
ان الله طيب لا يقبل الا طيبا
”Sesungguhnya Allah itu baik, tiada menerima melainkan yang
baik”.
Jadi
perbuatan yang baik itu harus memenuhi beberapa kerakter yaitu, niat ikhlas dan
tata caranya menurut syariat (dengan cara yang benar). Ada beberapa Prinsip
Dasar dalam menentukan perkara tersebut diharamkan, yaitu :
·
Hukum Asal Benda Yang Berbahaya
Adalah Haram
Prinsip
ini berbunyi :الاصل فى المضر التحريم
(hukum asal benda yang berbahaya, mudharat
adalah haram). Prinsip ini berarti bahwa segala sesuatu materi (benda) yang
berbahaya, sementara tidak terdapat nash syar’I tertentu yang melarang,
memerintah, atau membolehkan, maka hukumnya haram. Sebab, syariat telah
mengharamkan terjadinya bahaya. Misalnya, ecstasy dan segala macam narkoba
lainnya hukumnya haram karena menimbulkan bahaya bagi penggunanya. Berdasarkan
hadist Nabi Saw :
لاضرار و لاضرار.
" Tidak boleh
menimpakan bahaya bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang lain"
·
Perkara yang mubah jika berbahaya
maka berubah menjadi haram
Prinsip ini dalam berbunyi :
اذا كان ضارا او معديان الى ضرار حرم
ذالك الامر من افرد الامر المباح
كل
Kaidah ini berarti, suatu masalah
(berupa perbuatan atau benda) yang hukum asalnya mubah, jika ada kasus tertentu
darinya yang berbahaya atau menimbulkan bahaya, maka kasus itu diharamkan. Sementara hukum
asalnya tetap mubah. Misalkan mandi, hukum asalnya boleh. Tapi bagi orang yang
mempunyai luka luar yang parah, mandi bisa berbahaya baginya. Maka mandi bagi
orang itu secara khusus adalah haram, sedangkan mandi itu sendiri tetap mubah
hukumnya. Contoh lain, daging kambing, hukum asalnya mubah. Tapi bagi orang
tertentu yang menderita hipertensi, daging kambing bisa berbahaya. Maka, khusus
bagi orang tersebut, daging kambing hukumnya haram. Sedangkan daging kambingnya
itu sendiri, hukumnya tetap mubah.
·
Perantaraan Yang Membawa Kepada Yang
Haram, Hukumnya Haram
Prinsip
di atas dirumuskan dalam kaidah fiqih yang berbunyi al-wasilah ila al-haraam
haraam (segala perantaraan berupa perbuatan atau benda yang membawa kepada yang
haram, hukumnya haram). Contoh
penerapannya, adalah haramnya menjual anggur atau perasan (jus) anggur dan yang
semacamnya yang diketahui akan dijadikan khamr. Padahal jual beli itu hukum
asalnya mubah. Tapi kalau jual beli ini akan mengakibatkan keharaman, yaitu
produksi khamr, maka jual beli itu menjadi haram hukumnya, berdasarkan kaidah
di atas.
·
Keadaan Darurat Membolehkan Yang
Haram
Darurat
(adh-dharurat) menurut Imam As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa an-Nazha`ir adalah
sampainya seseorang pada batas ketika ia tidak memakan yang dilarang, ia akan
binasa (mati) atau mendekati binasa. Semakna dengan ini, darurat menurut Syaikh
Taqiyuddin An-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah adalah keterpaksaan
yang sangat mendesak yang dikhawatirkan akan menimbulkan kebinasaan/kematian
Itulah definisi darurat yang membolehkan hal yang haram, sebagaimana termaktub
dalam kaidah fiqih termasyhur :
الضرورة يزالKaidah itu berasal dari ayat-ayat
yang membolehkan memakan yang haram seperti bangkai dan daging babi dalam
kondisi terpaksa. Misalnya QS Al-Baqarah: 173.
Contoh
penerapannya, misalnya ada orang kelaparan yang tidak memperoleh makanan
kecuali daging babi, atau tidak mendapat minuman kecuali khamr, maka boleh
baginya memakan atau meminumnya, karena darurat.
Menurut
Imam Al-Ghazali secara ijmal (global) benda-benda yang di anggap haram itu
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu :
1. Benda
yang diharamkan karena zatnya, seperti babi, anjing, darah dll.
2. Benda
yang haramnya dikarenakan sebab cara memperolehnya. Contoh mencuri, merampok,
korupsi, dll.[8]
C. Subhat
Subhat
artinya samar atau kurang jelas. Maksudnya sidini ialah setiap
perkara/persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi
manusia. Adapun yang syubhat yaitu setiap hal yang dalilnya masih dalam
pembicaraan atau perselisihkan, maka menjauhi perbuatan semacam itu termasuk sifat
wara’. Para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat yang
diisyaratkan Rasulullah. Pada hadits tersebut, sebagian Ulama berpendapat bahwa
hal semacam itu haram hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah, “siapa menjaga
dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”.
Siapa yang tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti dia telah
terjerumus kedalam perbuatan haram. Nabi bersabda :
عن الحسن بن علي رضي الله عنها قال :
حفظت من رسو ل الله صلي الله عليه وسلم دع ما يريبك الي ما لا يريبك. رواه الترمزي
“Dari
Al-Husain bin Ali r.a ia berkata : Saya selalu ingat pada sabda Rasulullah Saw,
yaitu: Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu dan kerjakanlah sesuatu yang
tidak meragukanmu. (Riwayat
Tirmizy)[9]
Sebagian
yang lain berpendapat bahwa hal yang syubhat itu hukumnya halal dengan alasan
sabda Rasulullah, “seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah
terlarang” kalimat ini menunjukkan bahwa syubhat itu pada dasarnya halal,
tetapi meninggalkan yang syubhat adalah sebagaian sifat yang wara’. Sebagian
lain lagi berkata bahwa syubhat yang tersebut pada hadits ini tidak dapat
dikatakan halal atau haram, karena Rasulullah menempatkannya diantara halal dan
haram, oleh karena itu kita memilih diam saja.
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ
وَعِرْضِهِ
"Barangsiapa meninggalkan perkara-perkara syubhat, maka ia mencari
keterbebasan untuk agamanya dan kehormatannya."
Kalimat,
“maka siapa yang menjaga dirinya dari yang syubhat itu, berarti ia telah
menyelamatkan agama dan kehormatannya” maksudnya membentengi diri dari perkara
yang syubhat.Kalimat, “siapa terjerumus dalam wilayah syubhat maka ia telah
terjerumus kedalam wilayah yang haram” hal ini dapat terjadi dalam dua hal:
Ø Orang yang tidak bertaqwa kepada Allah dan tidak
memperdulikan perkara syubhat maka hal semacam itu akan menjerumuskannya
kedalam perkara haram, atau karena sikap sembrononya membuat dia berani
melakukan hal yang haram, seperti kata sebagian orang: “Dosa-dosa kecil dapat
mendorong perbuatan dosa besar dan dosa besar mendorong pada kekafiran”
Ø Orang yang sering melakukan perkara syubhat berarti
telah menzhalimi hatinya, karena hilangnya cahaya ilmu dan sifat wara’ kedalam
hatinya, sehingga tanpa disadari dia telah terjerumus kedalam perkara haram.
Terkadang hal seperti itu menjadikan perbuatan dosa jika menyebabkan
pelanggaran syari’at.
[1] Haqqi,
Ahmad Muadz. 2003. Al-Arba’una Haditsan fi Al-Akhlaq ma’a Syarhiha (Syarah
40 Hadits Tentang Akhklak). Terjemahan oleh Abu Azka. Jakarta : Pustaka
Azzam. Hal 40
[2] Imam Nawawi, Terjemahan Riyadus Shalihin Jilid I,1999. Pustaka
Amani,Jakarta. Hal 558
[3] Imam Al-Ghazali,Benang Tipis antara Halal dan Haram,2002.
Penerbit putra Pelajar,Semarang. Hal 10
[4]Fudhailurrahman, Aida humara.,Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin,karangan
Imam Ghazali,2010. PT Sahara Intisains. Hal 203
[5] Al-Qaradhawi,
Yusuf. 1990. Halal dan Haram Dalam Islam (Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam). Terjemahan oleh
Muammal Hamidy. PT Bina Ilmu Surabaya. Hal 14-15
[6] Hakim, Abdul Hamid. Mabadi`
Awwliyah. Sa’adiyah Putra. As-Sulam. Jakarta. Hal 48
[7] Imam Al-Ghazali,Benang Tipis antara Halal dan Haram,2002.
Penerbit putra Pelajar,Semarang. Hal 19-20
[8] Imam Al-Ghazali,Benang Tipis antara Halal dan Haram,2002. Penerbit
putra Pelajar,Semarang. Hal 22-25
[9] Imam Nawawi, Terjemahan Riyadus Shalihin Jilid I,1999. Pustaka
Amani,Jakarta. Hal : 561
Tidak ada komentar:
Posting Komentar