BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari
segala sesuatu yang ada secara mendalam. sehingga dengan adanya filsafat kita
akan tahu akar-akar dari berbagai macam ilmu lainnya dan juga dasar dari segala
yang ada. Filsafat dibagi menjadi bebrapa cabang ilmi, salah satunya yaitu
filsafat pendidikan. Filsafat sendiri dimengerti sebagai bentuk ilmu yang
mengkaji mengenai dasar-dasar pendidikan yang menitikberatkan pada
pendekatan-pendekatan filsafat sehingga akan menghasilkan teori-toeri
kependidikan yang berguna pada masalah-masalah kependidikan itu sendiri.
Manusia mahluk hidup ciptaan Tuhan yang paling sempurna
di jagad raya, dengan alam pikirannya dia dapat mengembangkan segala sesuatu
yang diinginkan, segala sesuatu yang diinginkan, segala cara dia lakukan untuk
mencapai hasil semaksimal mungkin. Tuhan menciptakan manusia yang bagaimana
(keberadaan seperti apa manusia berada), apakah cara berada manusia sama halnya
dengan cara berada makhluk lain "benda-benda". Jawabannya tentu
beraneka ragam dan berbeda pendapat yang mempunyai alasan-alasan tersendiri
dalam memperkuat filsafatnya. Hal itu terjadi apabila cara manusia berada di
dunia ini (eksistensi) berbeda,seperti halnya: eksistensialisme, materialisme. Dalam
filsafatnya tentang keberadaan manusia di dunia.
Dalam filsafat pendidikan terdapat berbagai aliran
filsafat yang merupakan terapan dari filsafat umum. Dan yang akan dibahas dalam
makalah ini filsafat eksistensialisme yang ditinjau dari segi ontologis atau
keberadaan dalam filsafat pendidikan. Pengertian yan cukup terang tentang
aliran filsafat pendidikan ini dapat membuka jalan yang lebih mulus ke arah
pengertian, hubungan antara filsafat pendidikan eksistensialisme, dengan
pendekatan tradisional, dengan pendekatan progresif terhadap aliran-aliran lain (Ali Saifullah:1977:157).
Filsafat ini memfokuskan pengalaman-pengalaman individu.
Filsafat yang berhubungan dengan pengembangan sistem pemikiran untuk
mengidentifikasi dan memahami apa yang umum pada semua realitas, keberadaan
manusia, dan nilai (Usiono:2006:135).
B. Rumusan Masalah
Adapun Masalah yang akan saya bahas di dalam makalah ini,
menyangkut beberapa hal, antara lain :
Pengertian
filsafat pendidikan Eksistensialisme
Latar
belakang munculnya aliran Eksistensialisme
Tokoh-tokoh
aliran Eksistensialisme
Beberapa
pemikiran Eksistensialisme tentang pendidikan
Ciri-ciri
umum Eksistensialisme
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Pendidikan
Eksistensialisme
Definisi eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan
kaum eksistensialis sendiri tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya
eksistensialisme itu. Sekalipun demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik
filsafat eksistensi maupun filsafat eksistensialisme sama-sama menempatkan cara
wujud manusia sebagai tema sentral
(Ahmad
Syadali:1997:127).
Namun tidak ada salahnya, untuk
memberikan sedikit gambaran tentang eksistensialisme ini, berikut akan
dipaparkan pengertiannya.
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang
berasal dari bahasa Latin ex yang berarti keluar dan sistere yang berarti
berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.
Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya
sendiri; ia berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa
Jerman disebut dasein (dan artinya di sana, sein artinya berada) (Ahmad
Tafsir:1992:191).
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat
eksistensialisme ini, perlu kiranya dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang
dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti arti katanya,
yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral (Fuad Hasan:1974:80).
Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan
bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dalam
dunia; ia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia,
menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon,
batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai
arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang
sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut obyek (Ahmad, Tafsir:1992:192).
Filsafat ini memfokuskan padsa pengalaman-pengalaman
individu. Eksistensi adalah cara manusia ada di dunia ini. Cara berada manusia
berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi tang lain. Cara beradanya
manusia adalah hidup bersama dengan manusia lainnya, ada kerjasama dan
komunikasi serta dengan penuh kesadaran, sedangkan benda-benda meteri lainnya
keberadaannya berdasarkan ketidak sadaran akan dirinya sendiri dan tidak dapat
berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Benda-benda materi, alam fisik,
dunia yang berada diluar manusia tidak akan bermakna dantidak memiliki tujuan
apa-apa jika terpisah dari manusia. Jadi dunia bermakna karena manusia (TIM Pengajar UNIMED:2011:31).
Dalam pandangan materialisme, baik yang kolot maupun yang
modern, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti hal halnya kayu dan
batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda
seperti halnya kayu dan batu. Akan tetapi, materialisme mengatakan bahwa pada
akhirnya; jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, manusia hanyalah sesuatu yang
material, dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut bentuknya memang
manusia lebih unggul daripada sapi, ataupun batu, tetapi pada eksistensinya
manusia adalah sama saja dengan sapi, pohon ataupun batu. Nah disinilah terjadi
pertentangan antara kaum materialisme dan eksistensialisme (Ahmad
Syadali:1997:127).
B. Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme
Istilah
eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger
(1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya
berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938).
Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan Nietzche.
Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab pertanyaan
“Bagaimanakah aku menjadi seorang individu)”. Hal ini terjadi karena pada saat
itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan individualitasnya).
Kiergaard menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa
menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen
pribadi dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya
adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul”.
Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan
diri secara jujur dan berani
Gerakan eksistensialis
dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat yang menamakan dirinya
eksistensialisme, yang para tokohnya antara lain Kierkegaard (1813 – 1915),
Nietzsche (1811 – 1900) dan Jean Paul Sartre. Inti ajaran ini adalah respek
terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi mendahului esensi.
Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing.
Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah,
indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki keinginan
untuk bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan
refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri.
Manusia adalah pencipta
esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan
siswa berkembang menjadi dirinya dengan membiarkan berbagai bentuk pajanan
(exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar,
maka kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia
secara utuh, bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu,
kurikulum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih
siswa. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan
ekspresi diri, antara lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu
merupakan alat untuk memungkinkan siswa ‘berfilsafat’ ihwal makna dari
pengalaman hidup, cinta dan kematian. Eksistensialisme biasa dialamatkan
sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban
manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda
dengan filsafat eksistensi. Paham Eksistensialisme secara radikal menghadapkan
manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar
sebagai arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan cara wujud manusia
sebagai tema sentral (Fuad Hassan:1974:7-8).
Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah
merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia
sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.Filsafat
eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang mengguncangkan dunia
walaupun filsafat ini tidak luar biasa dan akar-akarnya ternyata tidak dapat
bertahan dari berbagai kritik (Ahmad, Tafsir:1992:190).
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila
terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan
mencoba apakah ia dapat tahan uji
(Hasan Amin:1966:11).
Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang
lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau
merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi
dan kondisi dunia, yaitu :
1. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya
adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak
mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa
pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir
manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul
materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada
eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
2. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya
sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan
sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi
tidak ada barang lain selain pikiran.
3. Situasi dan Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan
kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu
itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa
muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan
hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi.
Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan
manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di
tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan (Ahmad, Tafsir:1992:194).
C. Tokoh-tokoh Eksistensialisme dan
Ajarannya
Tokoh-tokoh eksistensialisme ini cukup banyak, di
antaranya:
1. Soren Aabye Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) lahir di Kopenhagen,
Denmark. Ia lahir ketika ayahnya berumur 56 tahun dan ibunya 44 tahun. Ia mulai
belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Ia menentang keras pemikiran Hegel
yang mendominasi di Universitas tersebut. Dalam kurun waktu ini ia apatis
terhadap agama, ingin hidup bebas dari lingkungan aturan agama. Setelah
mengalami masa krisis religius, ia kembali menekuni ilmu pengetahuan dan
menjadi Pastor Lutheran (M. Dagun:1990:47).
Pada tahun 1841 ia mempublikasikan buku pertamanya Om
Begrebet Ironi (The Concept of Irony). Karya ini sangat orisinal dan
memperlihatkan kecemerlangan pemikirannya. Ia mengecam keras asumsi-asumsi
pemikiran Hegel yang bersifat umum. Karya agungnya terjelma dalam Afsluttende
Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding Unscientific Postcript) tahun 1846,
mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada kebenaran subyek. Karya-karya
lainnya adalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske Smuler (1844). Sedangkan
buku-buku yang bernada kristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger (Work of Love)
1847, Christelige Taler (Christian Discourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden
(The Sickness into Death) tahun 1948)
(M. Dagun:1990:48-49).
Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
·
Tentang
Manusia.
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri
seseorang yang "bereksistensi" bersama dengan analisisnya tentang
segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputusasaan, dan
ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di
Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf
eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber. Alur
pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya
menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara
umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar
kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi
agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu.
Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel
akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan
makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan
jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya,
yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya
menjadi seorang kristiani.
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan
utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit,
karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard
manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai
"aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke
dalam sesuatu yang lain (Ahmad, Tafsir:1992:195).
·
Pandangan
tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi
dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama
adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah
statis tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari
kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang
mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki
kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu
sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebassannya. Kebebasan itu
muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani
mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita
tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak
bereksistensi dalam arti sebenarnya
(M. Dagun:1990:50-51).
Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu :
»
Eksistensi
estetis, menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan
masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia
sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang
dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak
mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
»
Eksistensi
etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan
dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada
hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai
dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual
(estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
»
Eksistensi
religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah
menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut,
yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan
pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman
religius (Harun Hadiwijono;1980;125).
·
Pandangan
tentang Teodise
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara
pencipta dan makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan
bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan
manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas
akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati
makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa
dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu
loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal (Dagun:1990:52).
Jadi inti masalah yang menjadi pemikiran eksistensialisme
menurut Kierkegaard adalah :
»
Eksistensi
adalah cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi, manusialah
sebagai pusat perhatian, sehingga bersifat humanistis.
»
Bereksistensi
tidak statis tetapi dinamis, yang berarti menciptakan dirinya secara aktif,
merencanakan, bberbuat dan menjadi.
»
Manusia
dipandang selalu dalam proses menjadi belum selesai dan terbuka serta
realistis. Namun demikian manusia terikat dengan dunia sekitarnya terutama
sesama manusia (TIM
Pengajar UNIMED:2011:31).
2. Jean Paul Sartre
Jean Paul Sartre (1905-1980) lahir tanggal 21 Juni 1905
di Paris. Ia berasal dari keluarga Cendikiawan. Ayahnya seorang Perwira Besar
Angkatan Laut Prancis dan ibunya anak seorang guru besar yang mengajar bahasa
modern di Universitas Sorbone. Ketika ia masih kecil ayahnya meninggal,
terpaksa ia diasuh oleh ibunya dan dibesarkan oleh kakeknya. Di bawah pengaruh
kakeknya ini, Sartre dididik secara mendalam untuk menekuni dunia ilmu pengetahuan
dan bakat-bakatnya dikembangkan secara maksimal. Pengalaman masa kecil ini
memberi ia banyak inspirasi. Diantaranya buku Les Most (kata-kata) berisi nada
negatif terhadap hidup masa kanak-kanaknya
(Dagun:1990:94).
Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan
ia sendiri dibaptiskan menjadi katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya
ia justru tidak menganut agama apapun. Ia atheis. Ia menengaku sama sekali
tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini muncul semenjak ia berusia
12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia menginginkan
untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang. Sartre tidak pernah kawin secara
resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah. Mereka menolak menikah
karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga borjuis saja. Dalam
perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya adalah kaum
kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga mengeritik idealisme
dan para pemikir yang memuja idealisme.
Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon
dan Paris. Pada periode ini ia bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu
ia mendalami fenomenologi dalam mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia
menjadi mashur melalui karya-karya novel dan tulisan dramanya. Dalam bidang
filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being ang Nithingness, buku ini
membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya. Eksistensialisme dan
Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu
gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia
mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat
mengendalikan pada kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus
mengandalkan kekuatan yang ada dalam dirinya. Karya-karya yang lain adalah
Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall. Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai
berikut :
·
Tentang
Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk
membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu
mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang
jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan
keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi
La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia
menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan
kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan
sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya
atau memikul beban tanggung jawab
(Dagun:1990:96).
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya
Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia
mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang
memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih
kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak
manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang
manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia
konsepsikan setelah ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke
dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri
manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung
jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan
eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia.
Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung
keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
3. Martin Haidegger
Menurut Martin Haidegger bahwa keberadaan hanya akan dapt
dijawab melalui jalan Anologi, artinya jika persoalan ini dihubungkann dengan
manusia dan dicari artinya dalam hubungan ini. Metode untuk ini adalah metode
fenomenologis. Jadi yang penting adalah menemukan arti keberadaan itu.
Satu-satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah beradanya manusia.
Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia
mengambil tempat di tengah-tengah dunia sekitarnya. Untuk itu manusia harus
keluar dari dirinya dan berdiri ditengah-tengah segala yang berada. Desein
manusia disebut juga dengan eksistensi
(Ahmad, Tafsir:1992:128).
Bicara adalah asas yang eksistensial bagi kemungkinan
untuk berbicara dan berkomunikasi bagi manusia. Secara apriori manusia telah
memiliki daya untuk berbicara, sambil berbicara ia mengungkapkan diri,
pengungkapannya adalah sebuah dalam rangka rencana yang telah diarahkan ke arah
tertentu.
4. J.P. Sartre
Pemikiran Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya
monumentalnya L'etre et Le neant (Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada
dua macam "etre" atau :'ada', yaitu L'etre-pour-Soi (ada-untuk
dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam dirinya sendiri).
·
L'etre-en-Soi
(being in itself/ada dalam dirinya sendiri)
L'etre-en-Soi sama sekali identik dengan dirinya.
L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga paisf, tidak afirmatif dan juga tidak
negatif: kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan
amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai masa silam, masa depan: tidak mempunyai
kemungkinan ataupun tujuan. L'etre-en-Soi sama sekali kontingen, yang berarti
ia ada begitu saja, tanpa dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan, dari
sesuatu yang lain. Jadi ada dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi ini
untuk menunjukkan eksistensi di dalamnya seseorang bertindak sebagai sesuatu
yang ada begitu saja, tanpa menyadari bahwa pilihan otentik, bebas, terbuka
bagi semua tindakan seseorang. Kualitas ada-dalam dirinya sendiri adalah milik
semua benda dan manusia sejauh mereka bertindak sebagai obyek yang diam (Dagun:1990:100).
·
L'etre-pour-Soi
Konsep ini tidak mentaati prinsip identitas seperti
halnya dengan etre-en-soi. Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai
hubungan dengan keberadaannya. Ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan
bertanggung jawab atas fakta bahwa ia seorang pekerja. Kalau benda-benda itu
tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar bahwa ia berada. Di dalam
kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut reflektif, ada yang
menyadari dan ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.
D. Beberapa pemikiran Filsafat
Eksistensialisme
Ada beberapa pemikiran yang sangat menonjol dikalangan
eksistensialisme. Antara lain:
1. Realitas
Menurut eksistensialitas, ada dua jenis filsafat
tradisional yaitu filsafat spekulatif dan skeptis. Filsafat spekulatif
menjelaskan tentang hal-hal yang
fundamental tentang pengalaman, dengan berpangkal pada realitas yang lebih
dalam yang secara inheren telah ada dalam diri individu. Filsafat skeptik
berpandangan bahwa semua pengalaman manusia adalah palsu, tidak ada satupun
yang dapat kita kenal dari realitas. Mereka berpendapat bahwa konsep metafisika
adalah bersifat sementara.
Paham ekistensialisme bukan hanya satu, melainkan terdiri
dari berbagai pandangan yang berbeda-beda. Namun, pandangan-pandangan tersebut
memiliki beberapa persamaan, sehingga pandangan-pandangan mereka dapat
digolongkan filsafat eksistensialisme. Persamaan-persamaan tersebut antara lain
:
»
Motif
pokok dari filsafat eksistensialisme ialah cara manusia berada, hanya
manusialah yang pereksistensi.
»
Bereksistensi
harus diartikan secara dinamis, bereksistensi berarti menciptakan dirinya
secara aktif, berbuat, menjadi dan memecahkan.
»
Eksistensialisme
memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang eksistensial (Harun Hadiwijono:1980:14).
2. Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi
oleh filsafat fenomologi,suatu pandangan yang mengambarkan penampakan
benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana banda-benda tersebut
menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tergantung
pada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap
realitas. Pengetahuan yang diberikan disekolah bukanlah sebagai alat untuk
memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan dapat dijadikan alat
perkembangan dan alat pemenuhan diri (Usiono:2006:137).
3. Nilai
pemahaman eksistensi terhadap nilai, menekankan kebebasan
dalam bertindak. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita, melainkan suatu
potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun
untuk menentukan pilhan yang terbaik itu yang paling sulit. Berbuat akan
menghasilkan akibat, dimana seseorang kan menerima akibat dari perbuatannya
4. Pendidikan
Secara relatif, eksistensialisme tidak begitu dikenal
dalam dunia pendidikan, tidak menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah.
Sebaliknya, penganut eksistensialisme kebingungan dengan apa yang akan mereka
temukan melalui pembangunan pendidikan.
Mereka menilai bahwa tidak ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk
propaganda untuk memikat orang lain. Mereka juga menunjukkan bahwa bagaimana
pendidikan memunculkan bahaya yang nyata, sejak penyiapan murid sebagai
konsumen atau menjadikan mereka penggerak mesin pada teknologi industri dan
birokrasi modern. Malahan sebaliknya pendidikan tidak membantu membentuk
kepribadian dan kreativitas, sehingga para eksistensialis mengatakan sebagian
besar sekolah melemahkan dan mengganggu
atribut-atribut esensi kemanusiaan.
Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan
praktik pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan
sosio-ekonomi yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran
tertentu. Sekolah menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti memperoleh
pekerjaan dengan gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke kalangan ekonomi
kelas atas; sekolah juga menentukan tujuan untuk menjadi warga negara yang
baik, juga menentukan apa yang menjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa
diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan berperan dengan baik pula.[1]
Eksistensialitas sebagai filsafat sangat menekankan
individualitas, dalam hubungannya dengan pendidikan sangatt erat sekali, kerena
keduanya bersinggungan satu masalah dengan masalah yang lainnya, yaitu manusia,
hidup, hubungan antara manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan (usiono:2006:139).
Pendidikan, proses pembelajaran harus berlangsung sesuai dengan minat dan
kebutuhan peserta didik, tidak ada pemaksaan penguasaan pengetahuanm sikap dan
keterampilan, melainkan ditaawarkan. Tuntutlah peserta didik agar dapat
menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Guru hendaknya memberikan
kebebasan kepada peserta didik untuk memilih dan memberi mereka
pengalaman-pengalaman yang akan membantu menemukan makna dari kehidupan mereka (TIM Pengajar UNIMED:2011:32).
5. Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu
agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu
memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan
dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan
berlaku secara umum.
Kurikulum pada
sekolah menurut eksistensialis haruslah terbuka terhadap
perubahan karena ada dinamika dalam
konsep kebenaran, penerapan, dan perubahan-perubahannya. Melalui perspektif
tersebut, siswa harus memilih mata
pelajaran yang terbaik. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa mata pelajaran dan
pendekatan kurikuler pada filsafat tradisional tidak diberi tempat.[2]
6. Peranan guru
Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling
bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses
edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa
untuk memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu
mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Guru harus mampu membimbing dan
mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berfikir relatif dengan
melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak
memberikan interuksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luasa agar
betul-betul menghasilkan diskusi yang memuaskan tentang mata pelajaran. Diskusi
adalah salah satu metode utama dalam pandangan eksistensialisme (usiono:2006:141).
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Setelah
sedikit mengenal filsafat eksistensialisme serta implikasinya terhadap
pendidikan. Setiap pemikiran filsafat lahir tidak pernah lepas dari konteks zamannya,
demikian pula dengan eksistensialisme.
Eeksistensialisme mengedepankan otonomi manusia dalam berhadapan dengan
perkembangan sains dan teknologi. Secara epsitemologis, ada hal yang menarik dari
eksistensialisme, bahwa manusia hendaknya menjadi manusia yang autentik, yang
jujur dan memutuskan apa yang baik bagi dirinya secara bertanggung jawab dengan
rasionalitas dan perasaannya, tidak mencari justifikasi dan legitimasi dari
sesuatu yang seakan-akan berada di luar dirinya, tetapi sebenarnya adalah
kehendak diri yang dibalut norma sosial atau norma agama. Dari
penjelasan di atas dapat di ambil kesimpulan, antara lain :
1. Filsafat eksistensialisme adalah aliran
filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama.
Filsafat ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Eksistensi adalah
cara manusia ada di dunia ini. Cara berada manusia berbeda dengan cara
beradanya benda-benda materi tang lain. Cara beradanya manusia adalah hidup
bersama dengan manusia lainnya, ada kerjasama dan komunikasi serta dengan penuh
kesadaran.
2. Filsafat eksistensialisme lahir dari
berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada
sebelumnya (materialisme dan idiealisme) atau situasi dan kondisi dunia.
3. Ada beberapa tokoh-tokoh aliran
eksistensialisme, antara lain ; Soren Aabye Kierkegaard, Jean Paul Sartre, Martin
Haidegger, J.P. Sartre.
4. Filsafat eksistensialisme memiliki
beberapa pandangan tentang realitas, pengetahuan, nilai, pendidikan, tujuan
pendidikan, dan peranan guru.
B. Saran
Dari sekian banyak uraian/penjelasan di atas mungkin ada
terdapat kesalahan, oleh sebab itu saya selaku penyusun meminta maaf dan
memohon kritikan dan sarannya. Agar saya dapat mengetahui letak kesalahannya,
agar dapat diperbaiki untuk makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Drs. Ali Saifullah H.A, Antara
Filsafat dan Pendidikan, Pengantar Filsafat Pendidikan, Surabaya : Usaha
Nasional,1977.
2. DRS. Usiono, M.A,Pengantar Filsafat
pendidikan, Jakarta : Hijri Pustaka,2006.
3. Drs. H. Ahmad Syadali, M.A dan Drs.
Mudzakir, Filsafaat Umum, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997.
4. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan
Hati Sejak Thales sampai James, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya. 1992, cet
ke-2.
5. Fuad Hasan, Kita dan Kami , Jakarta : Bulan
Bintang, 1974.
6. TIM Pengajar UNIMED, Filsafat
Pendidikan,2011.
7. Drs. H. Ahmad Syadali, M.A dan Drs.
Mudzakir, Filsafaat Umum, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997.
8. Hasan Amin, Filsafat Dewasa Ini,
Jakarta : Balai Pustaka, 1966.
9. M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme,
Jakarta : Rineka Cipta. 1990, cet. ke-1.
10. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah
Filsafat Barat 2, Yogyakarta : Kanisius, 1980.
thax atas postingnya...bs jd bahan referensi tugas mata kuliahQ...
BalasHapusmksh y,, senangnya bisa dapat rujukan dari anak IAIN jg
BalasHapusyups...
BalasHapussemoga bermanfaat..
ohh fitri nang IAIN jugaa...
salam kenal ja yaa..
Good, referensi harus ada dalam bhs asing
BalasHapus