BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan
fundamental dalam sejarah dan kehidupan manusia. Agama memang tidak mudah untuk
di defenisikan karena agama mengambil bentuk yang bermacam-macam, namun semua
orang berkesimpulan bahwa agama segala yang menunjukkan pada kesucian, rasa
suci.[1].
Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah agama dan filsafat
niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama sekali tidak
membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang pun
mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti
perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang
abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin
ini. Sebagian pemikir yang berwawasan dangkal berpandangan bahwa antara agama
dan filsafat terdapat perbedaan yang ekstrim, dan lebih jauh, dipandang bahwa
persoalan-persoalan agama agar tidak "ternodai" dan
"tercemari" mesti dipisahkan dari pembahasan dan pengkajian filsafat.
Tetapi, usaha pemisahan ini kelihatannya tidak membuahkan hasil, karena
filsafat berhubungan erat dengan hakikat dan tujuan akhir kehidupan, dengan
filsafat manusia dapat mengartikan dan menghayati nilai-penting kehidupan,
kebahagian, dan kesempurnaan hakiki."[2]
Sebagian pemikir yang berwawasan dangkal berpandangan
bahwa antara agama dan filsafat terdapat perbedaan yang ekstrim, dan lebih
jauh, dipandang bahwa persoalan-persoalan agama agar tidak "ternodai"
dan "tercemari" mesti dipisahkan dari pembahasan dan pengkajian
filsafat. Tetapi, usaha pemisahan ini kelihatannya tidak membuahkan hasil,
karena filsafat berhubungan erat dengan hakikat dan tujuan akhir kehidupan,
dengan filsafat manusia dapat mengartikan dan menghayati nilai-penting
kehidupan, kebahagian, dan kesempurnaan hakiki.
Di samping itu, masih banyak tema-tema mendasar berkisar
tentang hukum-hukum eksistensi di alam yang masih membutuhkan pengkajian dan
analisa yang mendalam, dan semua ini yang hanya dapat dilakukan dengan
pendekatan filsafat. Jika agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di
alam dan tujuan akhir perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama
bertentangan dengan filsafat. Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi
penting sebagai subyek penelitian dan pengkajian filsafat.
Pertimbangan-pertimbangan filsafat berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan
tradisi-tradisi agama hanya akan sesuai dan sejalan apabila seorang penganut
agama senantiasa menuntut dirinya untuk berusaha memahami dan menghayati secara
rasional seluruh ajaran, doktrin, keimanan dan kepercayaan agamanya.
Dengan demikian, filsafat tidak lagi dipandang sebagai
musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan, bahkan sebagai alat dan
perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang
makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini niscaya
menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran
agama. Walaupun hasil-hasil penelitian rasional filsafat tidak bertolak
belakang dengan agama, tapi selayaknya sebagian penganut agama justru bersikap
proaktif dan melakukan berbagai pengkajian dalam bidang filsafat sehingga
landasan keimanan dan keyakinannya semakin kuat dan terus menyempurna, bahkan
karena motivasi keimananlah mendorongnya melakukan observasi dan pembahasan
filosofis yang mendalam terhadap ajaran-ajaran agama itu sendiri dengan tujuan
menyingkap rahasia dan hakikatnya yang terdalam.
B. Rumusan Masalah
Agar tidak lari dari pembahasan, maka ada baiknya
penyusun rumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah kami ini,
antara lain :
1. Pengertian filsafat dan agama
2. Persamaan dan perbedaan filsafat.
Inilah sub tema pokok yang akan penyusun bahas dalam
makalah ini, walaupun nantinya ada pembahasan yang penyusun uraikan akan timbul
permasalahan-permasalahan lain.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulis menyusun makalah ini adalah :
1. Agar mahasiswa mampu memahami pengertian filsafat dan agama
2. Mahasiswa mampu mengetahui apa saja
hubungan dan perbedaan antara filsafat dan agama.
3. Mahasiswa mampu mengetahui apa saja
masalah-masalah yang timbul di dalam pembahasn filsafat dan agama.
BAB
II
PEMBAHASAN
FILSAFAT DAN AGAMA
A. Pengertian
Sebelum
kita membahas tentang filsafat dan agama, ada baiknya kita behas terlebih
dahulu, pengertian filsafat dan agama.
1. Pengertian Filsafat
Filsafat diambil dari bahasa Arab yaitu فلسفة
, juga berasal dari bahasa Yunani berasal dari
kata philosophia, kata mejemuk yang terdiri dari kata Philos yang
artinya suka aytau cinta, dan kata Shopia yang artinya bijaksana. Dengan
demikian, secara etimologis kata filsafat memberikan pengertian cinta
kebijaksanaan. Orangnya disebut Philosopher atau Failasuf.[3]
Filsafat bila dilihat dari segi pengertian praktisnya adalah alam berfikir.
Berfilsafat artinya berfikir. Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat.
Berfilsafat adalah berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Filsafat juga
diartikan sebagai suatu pendirian hidup, dan juga disebut pandangan hidup.[4]
Tentang pengertian filsafat ada beberapa perbedaan
tentang defenisinya oleh para ahli, antara lain :
·
Plato,
menurut ia filsafat tidaklah lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
·
Aristoteles,
menurutnya filsafat adalah ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung di
dalamnya ilmu-ilmu metefisika, logika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
·
Marcum
Tullius Cicero, ia mengemukakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang ilmu
yang paling tinggi dan jalan untuk mencapai ilmu itu. Filsafat adalah induk
dari segala ilmu dunia, ilmu kepunyaan yang maha agung.
·
Epicuros,
ia memandang filsafat sebagai jalan untuk mencapai kepuasan dan kesenangan
hidup. Ia berguna dalam praktek di dunia. Filsafat membentuk pandangan dunia
dan sikap hidup.
·
Kant,
bagi kant filsafat adalah pokok dan pangkal segala pengetahuan dan pekerjaan.
·
Al-Kindi,
sebagai ahli filsafat pertama dalam Islam yang memberikan pengertian filsafat
di kalangan umat Islam. Ia membagi filsafat dalam tiga lapangan, yaitu :
o Ilmu fisika (ilmu at-Thibiyyat)
o Ilmu matematika
o Ilmu ketuhanan (ilmu Ar-Rububiyah).[5]
Dari defenisi-defenisi di atas dapat di ambil pemahaman,
antara lain :
ü Filsafat berarti berfikir, jadi yang
terpenting ialah proses dan hasil berfikir mendalam yang dilakukan manusia
untuk mencapai kebenaran.
ü Filsafat adalah menuntut pengetahuan
untuk memahami
ü Filsafat banyak berhubungan dengan
pikiran yang dingin dan tenang.
ü Filsafat diumpamakan air telaga yang
tenang dan jernih dan dapat dilihat dasarnya.
ü Ahli filsafat ingin mencari kelemahan
dalam tiap-tiap pendirian dan argumen walaupun argumennya sendiri.[6]
Ada beberapa ciri-ciri utama agar pemikiran itu dapat
dikatakan berfilsafat, antara lain :
·
Universal
Pemikiran
yang luas dan menyeluruh, tidak ada aspek tertentu saja.
·
Radikal
Pemikiran
yang mendalam dan mendasar hingga sampai kepada hasil yang fundamental dan
esensial.
·
Sistematis
Suatu
uraian yang terperinci tentang sesuatu, menjelaskan mengapa sesuatu terjadi.
·
Kritis
Mempertanyakan
segala sesuatu termasuk hasil filsafat, tidak menerima begitu saja apa yang
dilihat sepintas, yang dikatakan dan dilakukan masyarakat.
·
Analisis
Mengulas
dan mengkaji secara rinci dan menyeluruh tentang sesuatu.
·
Evaluatif
Upaya
sungguh-sungguh dalam menilai dan menyikapi segala persoalan yang dihadapinya.
·
Spekulatif
Upaya
akal budi manusia yang bersifat perekaan, penjelajahan dan pengandaian, tidak
membatasi hanya pada rekaman indera dan pengamatan ilmiah.[7]
Ada tiga (3) cabang Filsafat, yaitu :
Ø Filsafat tentang seluruh keseluruhan
kenyataan:
Obyek material cabang
filsafat ini adalah eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat). Filsafat ini
terbagi dua, yaitu :
o
Metafisika
umum (ontologi)
o
Metafisika
khusus, terbagi menjadi tiga masalah pokok :
»
Antropologi
(tentang manusia)
»
Kosmologi
(tentang alam semesta)
»
teologi
(tentang tuhan)
Ø Filsafat tentang pengetahuan
(Epistimologi)
Obyek material filsafat
ini adalah pengetahuan ("episteme") dan kebenaran.
Ø filsafat tentang nilai-nilai yang
terdapat dalam sebuah tindakan
Obyek material filssfst
ini adalah kebaikan dan keindahan. Terbagi menjadi dua (2) :
o
Etika
o
Estetika.[8]
2. Pengertian Agama
Kata agama berasal dari bahasa sansakerta yaitu a-gam-a,
gam yang berarti pergi atau berjalan. Kata jalan dengan makna yang sama kita
juga temukan pada peristilahan Islam, yaitu ; syariat, thariqah, shirathal.[9]Agama
memang tidak mudah untuk diberi definisi karena agama mengambil berbagai bentuk
yang bermacam-macam. Walaupun di akui bahwa tak ada defenisi agama yang dapat
diterima secara universal, namun semua orang berkesimpulan bahwa sepanjang
sejarah, manusia telah menunjukkan rasa suci, dan agama termasuk di dalamnya.
Manusia mengagumi, menakuti dan menyembah yang suci dengan berbagai cara.
Kata agama dalam Kitab suci Al-Qur'an dan hadits Nabi
mempunyai makna antara lain: pahala dan balasan, ketaatan dan penghambaan,
kekuasaan, syariat dan hukum, umat, kepasrahan dan penyerahan mutlak, aqidah,
cinta, akhlak yang baik, kemuliaan, cahaya, kehidupan hakiki, amar ma'ruf nahi
munkar, amanat dan menepati janji, menuntut ilmu dan beramal dengannya, dan
puncak kesempurnaan akal. Agama ialah suatu sistem credo (tata keyakinan),
ritus (peribadatan) dan sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia dan alam lainnya sesuai tata ketentuan yang telah
ditetapkan.[10]
Dari uraian di atas kita sudah menemukan empat buah unsur
paling universal dari agama, yaitu :
·
Adanya
keyakinan atas yang suci (sakral), sesuatu yang diluar kemampuan manusia.
·
Adanya
aktivitas akibat hubungan manusia dengan dzat yang suci, berupa kewajiban
ataupun pribadatan.[11]
·
Adanya
doktrin tentang Yang Suci dan tentang hubungan tersebut.
·
Adanya
sikap yang ditimbulkan oleh ketiga hal tersebut.[12]
Agama merupakan kebutuhan yang esensial manusia dan
bahkan bersifat universal. Tetapi sesungguhnya makna paling hakiki agama adalah
kesadaran spritual yang di dalamnya ada satu kenyataan di luar kenyataan yang
tampak, yaitu bahwa manusia selalu mengharap belas kasih-Nya, bimbingan-Nya,
serta perlindungan-Nya yang secara ontologis tidak bisa dipunkiri walaupun
manusia yang paling komunis sekalipun. Ada beberapa masalah yang berhubungan
dengan agama, yaitu :
·
Agama
berasal dari Wahyu Tuhan.
·
Agama
berarti mengabdikan diri, jadi yang
terpenting ialah hidup secara beragama sesuai dengan aturan-aturan yang telah
ditetapkan.
·
Agama
menuntut pengetahuan untuk beribadah yang merupakan pondasi hubungan manusia
dengan Tuhan.
·
Agama
banyak berhubungan dengan hati.
·
Agama
oleh pemeluknya akan dipertahankan dengan habis-habisan sebab mereka telah
terikat dan mengabdikan diri.
·
Agama
di samping memenuhi para pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian
diri, juga mempunyai efek yang menenangkan jiwa pemeluknya.[13]
Kepercayaan tidak harus melalui pemikiran dan
pengetahuan. Jadi agama hanyalah sekedar keyakinan dan kepercayaan saja. Akan
tetapi bagi yang sangat menjiwai agama itu sendiri adalah keyakinan dan
kepercayaan yang disertai dengan akal, pemikiran, penjelasan den pembuktian, sangat
penting dan diperlukan. walaupun demikian, banyak orang yang pintar tentang
kepercayaan, ahli teologi misalnya, tetapi tidak beragama. Sebaliknya ada orang
yang malah tidak bisa menjelaskan kepercayaan agamanya, tetapi di anggap religius.[14]
Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani manusia yang
berhubungan dengan alam semesta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang
terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai yang
berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Karena itulah religi
tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang kudus itu belum tentu Tuhan atau
dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya disebut
religi, pada hal sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan antara
manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang bersahaja dan
Budhisma dalam bentuk awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu bukan Tuhan
atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada penghayatan
yang berhubungan dengan Yang Kudus.[15]
Manusia mengakui adanya ketergantungan kepada Yang Mutlak
atau Yang Kudus yang dihayati
sebagai kontrol bagi manusia.
Untuk mendapatkan pertolongan dari Yang Mutlak itu manusia secara bersama-sama men-jalankan
ajaran tertentu. Jadi religi adalah hubungan antara manusia dengan Yang Kudus.
Dalam hal ini yang kudus itu terdiri atas ber-bagai kemungkinan, yaitu bisa
berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula berbentuk pribadi manusia. Selain itu
dalam al-Quran terdapat kata din yang menunjukkan pengertian agama. Kata din
dengan akar katanya dal, ya dan nun diungkapkan dalam dua bentuk yaitu din dan
dain. Al-Quran menyebut kata din ada menunjukkan arti agama dan ada menunjukkan
hari kiamat, sedangkan kata dain diartikan dengan utang.
Dalam tiga makna tersebut terdapat dua sisi yang
berlainan dalam tingkatan, martabat atau kedudukan. Yang pertama mempunyai
kedudukan, lebih tinggi, ditakuti dan disegani oleh yang kedua. Dalam agama,
Tuhan adalah pihak pertama yang mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih
tinggi, ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan bantuan dan bagi manusia.
Kata din dengan arti hari kiamat juga
milik Tuhan dan manusia tunduk kepada ketentuan Tuhan. Manusia merasa takut
terhadap hari kiamat sebagai milik Tuhan karena
pada waktu itu dijanji-kan azab yang pedih bagi orang yang berdosa.
Adapun orang beriman merasa segan dan juga menaruh
harapan mendapat rahmat dan ampunan Allah pada hari kiamat itu. Kata dain yang
berarti utang juga terdapat pihak pertama sebagai yang berpiutang yang jelas
lebih kaya dan yang kedua sebagai yang berutang, bertaraf rendah, dan merasa segan
terhadap yang berpiutang. Dalam diri orang yang berutang pada dasarnya terdapat
harapan supaya utangnya dimaafkan dengan arti tidak perlu dibayar, walaupun
harapan itu jarang sekali terjadi. Dalam Islam manusia berutang kepada Tuhan
berupa kewajiban melaksanakan ajaran agama.
B. Filsafat dan Agama
Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan
fundamental dalam sejarah dan kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui
secara mendalam tentang sejarah agama dan filsafat niscaya memahami secara
benar bahwa pembahasan ini sama sekali tidak membicarakan pertentangan antara
keduanya dan juga tidak seorang pun mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya
yang menjadi tema dan inti perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para
pemikir tentangnya sepanjang abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan
kesesuaian dua mainstream disiplin ini. Filasafat adalah sistem kebenaran
tentang agama sebagai hasil dari berfikir secara radikal, sistematis dan
universal. Dasar-dasar agama yang dipersoalkan dipikirkan menurut logika
(teratur dan disiplin) dan bebas.[16]
Ada beberapa permasalah dalam filsafat dan agama, baik
dari segi hubungan atau persamaannya (titik temu), juga dari segi perbedaannya.
1. Hubungan dan perbedaan Filsafat dengan
Agama
Abu Hayyan Tauhidi, dalam kitab al-Imtâ' wa al-Muânasah,
berkata, "Filsafat dan syariat senantiasa bersama, sebagaimana syariat dan filsafat terus sejalan, sesuai,
dan harmonis". Ahmad bin Sahl Balkhi yang dipanggil Abu Yazid, dilahirkan
pada tahun 236 Hijriah di desa Syamistiyan. Ketika baligh ia berangkat ke
Baghdad dan mendalami Filsafat dan ilmu Kalam (teologi). Di samping ia berusaha
memadukan syariat dan filsafat, ia juga meneliti agama-agama berbeda lalu
ditulis dalam kitabnya yang dinamai Syarâyi' al-Adyân dan beberapa kitab
lainnya.[17]
Menurut Prof. Nasroen, S.H, ia mengemukakan bahwa
filsafat yang sejati haruslah berdasarkan kepada agama. Malahan filsafat yang
sejati itu terkandung dalam agama. Apabila filsafat tidak berdasarkan kepada
agama dan filsafat hanya semata-mata berdasarkan akal dan pemikiran saja, maka
filsafat tidak akan memuat kebenaran obyektif , karena yang memberikan
pandangan dan keputusan hanyalah akal pikiran. Sedangkan kesanggupan akal
pikiran ituterbatas, sehingga filsafat yang hanya berdasarkan kepada akal
pikiran semata tidak akan sanggup memberikan kepuasan bagi manusia, terutama
dalam tingkat pemahamannya terhadap yang gaib.[18]
Sebagian pemikir yang berwawasan dangkal berpandangan
bahwa antara agama dan filsafat terdapat perbedaan yang ekstrim, dan lebih
jauh, dipandang bahwa persoalan-persoalan agama agar tidak "ternodai"
dan "tercemari" mesti dipisahkan dari pembahasan dan pengkajian
filsafat. Tetapi, usaha pemisahan ini kelihatannya tidak membuahkan hasil,
karena filsafat berhubungan erat dengan hakikat dan tujuan akhir kehidupan,
dengan filsafat manusia dapat mengartikan dan menghayati nilai-penting
kehidupan, kebahagian, dan kesempurnaan hakiki.
Di samping itu, masih banyak tema-tema mendasar berkisar
tentang hukum-hukum eksistensi di alam yang masih membutuhkan pengkajian dan
analisa yang mendalam, dan semua ini yang hanya dapat dilakukan dengan
pendekatan filsafat. Jika agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di
alam dan tujuan akhir perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama
bertentangan dengan filsafat. Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi
penting sebagai subyek penelitian dan pengkajian filsafat.
Dengan demikian, filsafat tidak lagi dipandang sebagai
musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan, bahkan sebagai alat dan
perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang
makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini niscaya
menambah kualitas pengahayatan dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran
agama. Walaupun hasil-hasil penelitian rasional filsafat tidak bertolak
belakang dengan agama, tapi selayaknya sebagian penganut agama justru bersikap
proaktif dan melakukan berbagai pengkajian dalam bidang filsafat sehingga
landasan keimanan dan keyakinannya semakin kuat dan terus menyempurna, bahkan
karena motivasi keimananlah mendorongnya melakukan observasi dan pembahasan
filosofis yang mendalam terhadap ajaran-ajaran agama itu sendiri dengan tujuan
menyingkap rahasia dan hakikatnya yang terdalam.
Antara kebenaran ilmu dan filsafat bersifat nisbi
(relatif) karena ilmu pengetahuan terbatas pada objek, subjek dan
metodologinya. Dan filsafat bersifat spekulatif yang juga tergantung pada
dugaan para filsuf masing-masing tetapi tidak semua permasalahan bisa dijawab
oleh agama. Abul Hasan 'Amiri, salah
seorang murid Abu Yazid Balkhi, adalah seorang filosof terkenal yang juga
berupaya membangun keharmonisan antara agama dan filsafat. Ia memandang bahwa
filsafat itu lahir dari argumentasi akal-pikiran dan dalam hal ini, akal
mustahil melanggar perintah-perintah Tuhan.
Abul Hasan 'Amiri menyatakan, "Akal mempunyai
kapabilitas mengatur segala sesuatu yang berada dalam cakupannya, tetapi perlu
diperhatikan bahwa kemampuan akal ini tidak lain adalah pemberian dan kodrat
Tuhan. Sebagaimana hukum alam meliputi dan mengatur alam ini, akal juga
mencakup alam jiwa dan berwenang mengarahkannya. Tuhan merupakan sumber
kebenaran yang meliputi secara kodrat segala sesuatu. Cakupan kodrat adalah
satu cakupan dimana Tuhan memberikan kepada suatu makhluk apa-apa yang layak
untuknya. Dengan ini, dapat kesimpulan bahwa alam natural secara esensial
berada dalam ruang lingkup hukum materi dan hukum materi juga secara
substansial mengikuti jiwa, dan jiwa berada di bawah urusan akal yang membawa
pesan-pesan Tuhan." Dapat disimpulkan bahwa hubungan filsafat dan agama,
mencakup :
·
Filsafat
menjelaskan makna wahyu Tuhan sampai mendekati makna yang sesungguhnya.
·
Mensistematisasikan,
membetulkan dan memastikan ajaran agama yang berdasarkan wahyu.
·
filsafat
dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru.
Adapun perbedaan antara
filsafat dan agama antara lain :
·
penyelidikan
agama dengan filsafat di dasarkan atas wahyu Allah, sedangkan filsafat kepada
hasil pemikiran.
·
Kebenaran
agama tergantung kepada kebenaran kepercayaan atas wahyu yang bersifat absolut,
sedangkan filsafat kebenaran atas penyelidikan sendiri sebagai hasil pemikiran
belaka jadi bersifat relatif dan terbatas.
·
Agama
sebagai obyek pemikiran dikaji oleh filsafat, karena itu adalah filsafat agama,
dan dalam memahami ajaran agama akan lahir pemikiran tentang agama.
·
Agama memberikan pengetahuan yang lebih tinggi dari
filsafat, karena pengetahuan yang tak ttercapai oleh pemikiran biasa karena
demikian tingginya hal itu hanya dapat diketahui dengan wahyu.[19]
[1] Dr. Nur Ahmad fadhil Lubis, MA, Pengantar Filsafat Umum, Medan
: IAIN Press, 2001. Hal 57
[2] Dikutip dari www.wisdoms4all.com/Indonesia
[3] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta
: Prenada Media, 2003. Hal 1-2
[4] Drs. Usiono, M.A, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta :
Hijri Pustaka Utama, 2006. Hal 39-40
[5] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang,
1992. Hal 16-18
[6] Drs. Usiono, M.A, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta :
Hijri Pustaka Utama, 2006. Hal 65
[7] Dr. Nur Ahmad fadhil Lubis, MA, Pengantar Filsafat Umum, Medan
: IAIN Press, 2001. Hal 12-13
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat
[9] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang,
1992. Hal 67
[10] http://free-makalah.blogspot.com/2010/07/hubungan-filsafat-dan-agama.html
[11] Dr. Nur Ahmad fadhil Lubis, MA, Pengantar Filsafat Umum, Medan
: IAIN Press, 2001. Hal 57-58
[12] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang,
1992. Hal 67-68
[13] Usiono, M.A, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta : Hijri
Pustaka Utama, 2006. Hal 65-66
[14] Dr. Nur Ahmad fadhil Lubis, MA, Pengantar Filsafat Umum, Medan
: IAIN Press, 2001. Hal 58-59
[15] Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat
dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1978. Hal 101
[16] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang,
1992. Hal
[17] http://free-makalah.blogspot.com/2010/07/hubungan-filsafat-dan-agama.html
[18] Drs. H. Ahmad Syadali, M.A, & Drs. Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung
: Pustaka Setia, 1999. Hal 37-38
[19] Usiono, M.A, Pengantar Filsafat Pendidikan, Jakarta : Hijri
Pustaka Utama, 2006. Hal 67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar