BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan zaman berlangsung
begitu cepat. Masyarakat berjalan secara dinamis mengiringi perkembangan zaman
tersebut. Seiring dengan hal itu, filsafat sebagai suatu kajian ilmu juga
berkembang dan melahirkan tiga dimensi utama sekaligus sebagai obyek kajiannya.
Ketiga dimensi utama filsafat ilmu ini adalah ontologi (apa yang menjadi obyek
suatu ilmu), epistemologi (cara mendapatkan ilmu), dan aksiologi (untuk apa
ilmu tersebut). Ontologi merupakan hakikat yang ada, yang merupakan asumsi
dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran. Epistemologi
adalah sarana, sumber, tata cara untuk menggunakannya dengan langkah-langkah
progresinya menuju pengetahuan (ilmiah). Adapun aksiologi adalah nilai-nilai sebagai
tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normatif dalam
penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Adapun ruang
lingkup filsafat ilmu meliputi:
Ø komparasi
kritis sejarah perkembangan ilmu;
Ø sifat dasar
ilmu pengetahuan;
Ø metode ilmiah;
Ø anggapan-anggapan
ilmiah;
Ø sikap etis
dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Filsafat
bertugas memberi landasan filosofik untuk memahami berbagai konsep dan teori
suatu disiplin ilmiah.[1] Secara
substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dari disiplin
ilmu masing- masing, agar dapat menampilkan teori substantif. Selanjutnya,
secara teknis diharapkan dengan dibantu metodologi, pengembangan ilmu dapat
mengopera- sionalkan pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari disiplin
ilmu masing- masing.
B.
Rumusan Masalah
Di dalam Makalah ini mengupas tentang :
Ø pengertian
ontologi dan apa yang dibahas di dalamnya
Ø pengertian epistemologi
dan masalah-masalah yang ada di dalamnya
Ø pengertian
aksiologi serta masalah-masalah didalamnya.
C. Tujuan penulisan
makalah ini antara lain:
Ø mengkaji
secara mendalam berbagai pengertian ontologi ilmu.
Ø mengkaji
ontologi sebagai dasar pemikiran filsafat.
Ø mengkaji
persoalan epistemologi.
Ø mengkaji
kaitan epistemologi dan cara memperoleh kebenaran/ilmu.
Ø mengkaji
epistemologi sebagai kunci pengembangan ilmu.
Ø mengkaji
pengertian aksiologi.
BAB
II
PEMBAHASAN
Tiga (3) Masalah Utama Dalam Filsafat
Seperti yang telah dikemukakan terdahulu bahwa filsafat
berfikir radikal,sistematis, dan universal tentang sesuatu. Jadi, yang menjadi
obyek pemikiran filsafat adalah segala sesuatu yang ada. Segala yang ada
merupakan bahan pemikiran filsafat karena, filsafat merupak usaha berfikir
manusia secara sistematis. Disini kita perlu mensistematiskan segala sesuatu
yang ada.
Al-Syaibany mendefenisikan filsafat sebagai usaha mencari
yang hak dan mengenai kebenaran, atau usaha untuk mengetahui sesuatu yang
berwujud, atau usaha untuk mengetahui tentang nilai segala sesuatu yang
mengelilingi manusia dalam alam semesta.[2]
Filsafat membahas yaitu masalah wujud, pengetahuan, dan masalah nilai. Tiga
masalah utama dalam filsafat yaitu, ontology, efistemology, dan eksiologi.
A. Ontology
Ø Pengertian
Ontologi merupakan
salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi
tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang
memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan
Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan
dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filosof yang pernah sampai pada
kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula
segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin
sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu
itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari
dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti
sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok
filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut
tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada
alam, dan ada kuasa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan
tertib dalam keharmonisan.[3] Ontologi
dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada.
Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau
panca indera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan
kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang
berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini
didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa“ontology
is the theory of being qua being ”,
artinya ontologi adalah teori tentang wujud.
Obyek telaah ontologi
adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada
umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak digunakan
ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas
tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi
berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan. Berdasarkan hal
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa obyek formal dari ontologi adalah hakikat
seluruh realitas. Hal senada juga dilontarkan oleh Jujun Suriasumantri, bahwa
ontologi membahas apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan
suatu pengkajian mengenai teori tentang ada.[4]
Ø Beberapa
Konsep Mengenai Ontologi Ilmu
Ontologi
sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk
memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu? Apakah
sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi)
ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam filsafat, antara lain:
·
Filsafat Materialisme
·
Filsafat Idealisme
·
Filsafat Dualisme
·
Filsafat Skeptisisme
·
Filsafat Agnostisisme
pokok permasalahan yang menjadi obyek kajian
filsafat mencakup tiga segi, yaitu :
·
Logika (Benar- Salah)
·
Etika (Baik-Buruk)
·
Estetika (Indah-Jelek).
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan
oleh Plato (428-348 SM) dengan teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada
di alam nyata ini mesti ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah
definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Plato mencontohkan pada
seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk
tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam,
putih ataupun belang, baik yang hidup ataupun sudah mati. Idea kuda itu adalah
faham, gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang
berada di benua manapun di dunia ini. Demikian pula manusia punya idea. Idea
manusia menurut Plato adalah badan hidup yang kita kenal dan bisa berpikir. Dengan
kata lain, idea manusia adalah ”binatang berpikir”. Konsep binatang berpikir
ini bersifat universal, berlaku untuk seluruh manusia besar-kecil, tua-muda,
lelaki-perempuan, manusia Eropa, Asia, India, China, dan sebagainya.
Tiap-tiap
sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah yang merupakan hakikat sesuatu
dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea- idea itu berada dibalik yang nyata
dan idea itulah yang abadi. Benda-benda yang kita lihat atau yang dapat
ditangkap dengan panca indera senantiasa berubah. karena itu, ia bukanlah
hakikat, tetapi hanya bayangan. Dengan kata lain, benda-benda yang dapat
ditangkap dengan panca indera ini hanyalah khayal dan illusi belaka.
Argumen
ontologis kedua dimajukan oleh St. Augustine (354– 430 M). Menurut Augustine,
manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ini ada kebenaran.
Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia mengetahui apa yang benar, tetapi
terkadang pula merasa ragu-ragu bahwa apa yang diketahuinya itu adalah suatu
kebenaran. Menurutnya, akal manusia mengetahui bahwa di atasnya masih ada suatu
kebenaran tetap (kebenaran yang tidak berubah-ubah), dan itulah yang menjadi
sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya mengetahui apa yang benar. Kebenaran
tetap dan kekal itulah kebenaran yang mutlak. Kebenaran mutlak inilah oleh
Augustine disebut Tuhan. Ontologi
ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang
dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi,
sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda
bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas
benda itu? apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori
hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam persoalan
keberadaan, yaitu:
1. Keberadaan
dipandang dari segi jumlah (kuantitas), menimbulkan beberapa akiran, yaitu :
Ø Monisme,
aliran yang menyatakan bahwa hanya satu keadaan fundamental. Kenyataan tersebut
dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya yang tidak dapat
diketahui.
Ø Dualisme
(serba dua), aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing-masing
berdiri sendiri. Misal dunia indera (dunia bayang-bayang) dan dunia intelek
(dunia ide).
Ø Pluralisme
(serba banyak), aliran yang tidak mengakui adanya sesuatu substansi atau dua
substansi melainkan banyak substansi, misalnya hakikat kenyataan terdiri dari
empat unsur yaitu udara, api, air dan tanah
2. Keberadaan
dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran, yaitu:
Ø Spiritualisme,
mengandung arti ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh
yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam.
Ø Materialisme,
adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang nyata kecuali materi.
3. Keberadaan
dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan
Ø Mekanisme
(serba mesin), menyatakan bahwa semua gejala atau peristiwa dapat dijelaskan
berdasarkan asas mekanik (mesin).
Ø Teleologi (serba
tujuan), berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah
sebab akibat tetapi sejak semula memang ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang
mengarahkan alam ke suatu tujuan.
Ø Vitalisme,
memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika,
kimia, karena hakikatnya berbeda dengan yang tak hidup.
Ø Organisisme
(lawannya mekanisme dan vitalisme). Menurut organisisme, hidup adalah suatu
struktur yang dinamik, suatu kebulatan yang memiliki bagian-bagian yang
heterogen, akan tetapi yang utama adalah adanya sistem yang teratur.
B. Epistemologi
1. Pengertian
Epistemologi
Istilah
epistemologi berasal dari bahasa Yunani kuno, dengan asal kata “episteme” yang
berarti pengetahuan dan “logos” yang berarti teori’. Secara etimologi, epistemologi
berarti teori pengetahuan. Epistemologi atau teori
pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang linkup
pengetahuan, tentang asal, struktur, metode serta keabsahan pengetahuan.[5] Mula-mula
manusia percaya bahwa dengan kekuasaan pengenalannya ia dapat mencapai realitas
sebagaimana adanya para filosof pra Sokrates, yaitu filosof pertama di alam
tradisi Barat, tidak memberikan perhatian pada cabang filsafat ini sebab mereka
memusatkan perhatian, terutama pada alam dan kemungkinan perubahan, sehingga
mereka kerap dijuluki filosof alam.
Epistomologi mengkaji mengenai apa
sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya.
Dengan menyederhanakan batasan tersebut, Brameld mendefinisikan epistomologi memberikan
kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada
murid-muridnya”.[6]
Disamping itu banyak sumber yang mendefinisikan pengertian Epistomologi
diantarannya:
»
Epistemologi
adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang
mengitari teori ilmu pengetahuan.
»
Epistomologi
adalah pengetahuan sistematis yang membahas tentang
terjadinnya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan,
metode
atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran
pengetahuan
(Ilmiah).
»
Epistomologi
adalah cabang atau bagian filsafat yang membicarakan tentang
pengetahuan
yaitu tentang terjadinnya pengetahuan dan kesahihan atau
kebenaran
pengetahuan.
»
Epistomologi
adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber-
sumber
pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan.
Manusia dengan latar belakang,
kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan- kepentingan yang berbeda mesti akan
berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti :
·
Dari
manakah saya berasal?
·
Bagaimana
terjadinya proses penciptaan alam?
·
Apa
hakikat manusia?
·
Apa
faktor kesempurnaan jiwa manusia?
·
Mana
pemerintahan yang benar dan adil?
·
Mengapa
keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih?
·
Apakah
bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya?
Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari
jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang
akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan
berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami
dan menyadari bahwa:
»
Hakikat
itu ada dan nyata;
»
kita bisa
mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
»
hakikat
itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
»
manusia
bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan
pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan
menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.
Dibawah
ini ada beberapa metode agar dapat memperoleh pengetahuan :
1.
Metode Empiris
Empirisme
adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh
pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania,
mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan
yang kosong (tabula rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat
pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita
diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide-ide yang
diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana
tersebut.
Ia
memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima
hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun
rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi
yang pertama-tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun
objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali
secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah
pengetahuan mengenai hal-hal yang factual.
2. Metode Rasionalisme
Rasionalisme
berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling
dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme
yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di
dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang
sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di
dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
3. Fenomenalisme
Bapak
Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman.
Baran sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat
inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan
disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah
mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan
hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan
tentang gejala (Phenomenon). Bagi Kant para penganut empirisme benar bila
berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun benar
hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal
memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
4.
Intusionisme
Menurut
Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dari dalam dirinya sendiri
pada saat iya menghayati sesuatu. Pengetahuan intuitif muncul secara tiba-tiba
dalam kesadaran manusia. Mengenai proses terjadinya, manusia itu sendiri tidak
menyadarinya. Pengetahuan ini sendiri hasil penghayatan pribadi sebagai hasil
ekpresi keunikan dan individualitas seseorang.
Dalam
pengertian secara umum, intuisi merupakan metode untuk memperoleh pengetahuan
tidak berdasarkan pengalaman rasio, dan pengamatan indra. Dalam filsafat paham
ini bertujuan agar manusia dapat memperoleh kebenaran yang hakiki. Menurut kaum
intuisionisme, dengan intuisi kita akan mengetahui dan menyadari diri kita
sendiri, mengetahui karakter perasaan orang lain dan motif orang lain.[7]
5. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya
keterbatasan indera dan manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek
yang dihasilkanpun akan berbeda-beda seharusnya dikembangkan suatu kemampuan
akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang lewat ini bisa diperoleh
dengan cara seperti yang dilakukan Imam Al-Ghazali. intuisi dalam tasawuf
disebut dengan ma'rifah yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui
pencerahan dan penyiaran Al-Ghazali menerangkan bahwa pengetahuan intuisi atau
malimpah yang disinarkan oleh Allah secara langsung merupakan pengetahuan yang
paling benar. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini hanya bersifat
individual dan tidak bisa dipergunakan untuk mencari keuntungan seperti ilmu
pengetahuan yang dewasa ini bila dikomersilkan.[8]
6. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula
berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan
oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialekta berarti
tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga
analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam
metode peraturan, juga analisis sistematika tentang ide mencapai apa yang
terkandung dalam pandangannya.
Dalam kehidupan sehari-hari
diaektika berarti kecakapan untuk melakukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan
ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak terasa dan satu pikiran tetapi
pemikiran itu seperti dalam percakapan. Berdebat paling kurang dua pendapat. Hegel menggunakan
metode dialektis untuk menjelaskan filsafatnya, lebih luas dari itu. Menurut
Hegel dalam realitas ini berlangsung dialektika.
Ada juga beberapa teori yang dapat
dijadikan acuan apakah pengetahuan itu benar atau salah, yaitu :
1. Teori Korespodensi
Menurut teori ini kebenaran
merupakan persesuaian antara fakta dan situasi nyata. Kebenaran merupakan
persesuaian antara pernyataan dan pemikiran sengan situasi lingkungannya.
2. Teori koherensi
Menurut teori ini kebenaran bukan
persesuaian antara pemikiran dan kenyataan melainkan persesuaian secara
harmonis antara pendapat/pikiran kita dengan pengetahuan yang telah kita miliki.
Jenis–jenis pengetahuan dapat
dibedakan menjadi tiga (3), yaitu :
·
Filsafat
Sering dikatakan bahwa filsafat
adalah induk segala ilmu. Pernyataan ini tidak salah karena ilmu-ilmu yang ada
sekarang, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, mulanya berada dalam kajian
filsafat. Pada zaman dulu tidak dibedakan antara ilmuwan dengan filosof. Isaac
Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisikanya dalam buku yang berjudul Philosophie
Naturalis Principia Mathematica (terbit 1686). Adam Smith (1723-1790) bapak
ilmu ekonomi menulis buku The Wealth of Nations (1776) dalam
kapasitasnya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas
Glasgow. Kita juga mengenal Ibnu Sina (w.1037) sebagai bapak kedokteran yang
menyusun ensiklopedi besar al-Qanun fi al-Thibb sekaligus sebagai
filosof yang mengarang Kitab al-Syifa’.
Definisi filsafat tidak akan
diberikan karena para ahli sendiri berbeda-beda dalam merumuskannya. Cukup di
sini disinggung mengenai ciri-ciri dari filsafat, sebagaimana diuraikan
Suriasumantri (1998), yaitu menyeluruh (membahas segala hal atau satu
hal dalam kaitannya dengan hal-hal lain), radikal (meneliti sesuatu
secara mendalam, mendasar hingga ke akar-akarnya), dan spekulatif (memulai
penyelidikannya dari titik yang ditentukan begitu saja secara apriori).
Spekulatif juga bermakna rasional.
Objek kajian filsafat sangat luas,
bahkan boleh dikatakan tak terbatas. Filsafat memelajari segala realitas yang
ada dan mungkin ada; lebih luas lagi, segala hal yang mungkin dipikirkan oleh
akal. Sejauh ini, terdapat tiga realitas besar yang dikaji filsafat, yakni
Tuhan (metakosmos), manusia (mikrokosmos), dan alam (makrokosmos).
Sebagian objek filsafat telah diambil-alih oleh sains, yakni objek-objek yang
bersifat empiris.
·
Agama
Agama kerap “berebutan” lahan dengan
filsafat. Objek agama dalam banyak hal hampir sama dengan filsafat, hanya lebih
sempit dan lebih praktis. Seperti filsafat, agama juga membahas Tuhan, manusia,
dan alam. Seperti filsafat, agama juga menyoal metafisika, namun jawabannya
sudah jelas: hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Selain Tuhan, objek pokok
dari agama adalah etika khususnya yang bersifat praktis sehari-hari.
Yang membedakan agama dari filsafat
terutama adalah epistemologi atau metodenya. Pengetahuan agama berasal dari
wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi, dan kita memerolehnya dengan jalan
percaya bahwa Nabi benar. Pada agama, yang harus kita lakukan adalah beriman,
baru berpikir. Kita boleh memertanyakan kebenaran agama, setelah menerima dan
memercayainya, dengan cara lain (rasional atau empiris). Tapi ujung-ujungnya
kita tetap harus percaya meskipun apa yang disampaikan agama itu tidak masuk
akal atau tidak terbukti dalam kenyataan. Jawaban yang diberikan agama atas
satu masalah bisa sama, berbeda, atau bertentangan dengan jawaban filsafat.
Dalam hal ini, latar belakang keberagamaan seorang filosof sangat memengaruhi.
Jika ia beragama, biasanya ia cenderung mendamaikan agama dengan filsafat,
seperti tampak pada filsafat skolastik, baik filsafat Yahudi, Kristen, maupun
Islam. Jika ia tidak beragama, biasanya filsafatnya berbeda atau bertentangan
dengan agama.
Secara praktis, agama sangat
fungsional dalam kehidupan manusia. Fungsi utama agama adalah sebagai sumber
nilai (moral) untuk dijadikan pegangan dalam hidup budaya manusia. Agama juga
memberikan orientasi atau arah dari tindakan manusia. Orientasi itu memberikan
makna dan menjauhkan manusia dari kehidupan yang sia-sia. Nilai, orientasi, dan
makna itu terutama bersumber dari kepercayaan akan adanya Tuhan dan kehidupan
setelah mati. (Coba perhatikan, dalam Alquran, objek iman yang paling banyak
disebut bahkan selalu disebut beriringan adalah iman kepada Allah dan hari
kemudian).
·
Sains
Sains (dalam bahasa Indonesia
disebut juga ilmu, ilmu pengetahuan, atau pengetahuan ilmiah) adalah
pengetahuan yang tertata (any organized knowledge) secara sistematis dan
diperoleh melalui metode ilmiah (scientific method). Sains memelajari
segala sesuatu sepanjang masih berada dalam lingkup pengalaman empiris manusia.
Objek sains terbagi dua, objek material dan objek formal. Objek material
terbatas jumlahnya dan satu atau lebih sains bisa memiliki objek material yang
sama. Sains dibedakan satu sama lain berdasarkan objek formalnya. Sosiologi dan
antropologi memiliki objek material yang sama, yakni masyarakat. Namun objek
formalnya beda. Sosiologi memelajari struktur dan dinamika masyarakat,
antropologi memelajari masyarakat dalam budaya tertentu.
Sains atau ilmu dibedakan secara
garis besar menjadi dua kelompok, yaitu ilmu-ilmu alam (natural sciences)
dan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Ilmu-ilmu alam memelajari
benda-benda fisik, dan secara garis besar dibedakan lagi menjadi dua, yaitu
ilmu alam (fisika, kimia, astronomi, geologi, dll) dan ilmu hayat (biologi,
anatomi, botani, zoologi, dll). Tiap-tiap cabang ilmu itu bercabang-cabang lagi
menjadi banyak sekali.
Sains diperoleh melalui metode sains
(scientific method) atau biasa diterjemahkan menjadi metode ilmiah. Metode
ini menggabungkan keunggulan rasionalisme dan empirisisme, kekuatan logika
deduksi dan induksi, serta mencakup teori kebenaran korespondensi, koherensi,
dan pragmatik. Karena penggabungan ini, sains memenuhi sifat rasional sekaligus
empiris. Sains juga bersifat sistematis karena disusun dan diperoleh lewat
suatu metode yang jelas. Bagi kaum positivis, sains juga bersifat objektif,
artinya berlaku di semua tempat dan bagi setiap pengamat. Namun sejak munculnya
teori relativitas Einstein, apalagi pada masa postmodern ini, klaim
objektivitas sains tidak bisa lagi dipertahankan.secara ringkas, metode ilmiah
disusun menurut urutan sebagai berikut:
- Menemukan dan merumuskan masalah
- Menyusun kerangka teoritis
- Membuat hipotesis
- Menguji hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dll).
- Menarik kesimpulan.
Kesimpulan yang diperoleh itu
disebut teori. Untuk benar-benar dianggap sahih dan bisa bertahan, sebuah teori
harus diuji lagi berkali-kali dalam serangkaian percobaan, baik oleh penemunya
maupun oleh ilmuwan lain. Pengujian ini disebut verifikasi (pembuktian
benar). Sebuah teori bisa juga diuji dengan cara sebaliknya, yaitu sebagaimana
diusulkan Karl Popper, falsifikasi (pembuktian salah). Dengan
falsifikasi, jika untuk sebuah teori dilakukan 1000 percobaan, 1 saja dari 1000
percobaan itu menunjukkan adanya kesalahan, maka teori itu tidak perlu
dipertahankan lagi. Contoh, jika dinyatakan kepada kita bahwa semua burung
gagak hitam, dan di suatu tempat kita menemukan satu burung gagak yang tidak
hitam, berarti pernyataan itu salah.
Pengetahuan
yang diperoleh lewat metode sains bukanlah terutama untuk pengetahuan itu
sendiri, melainkan sebagai alat untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah
sehari-hari. Kegunaan ini diperoleh dengan tiga cara, description (menjelaskan),
prediction (meramal, memerkirakan), dan controling (mengontrol).
Penjelasan diperoleh dari teori. Dihadapkan pada masalah praktis, teori akan
memerkirakan apa yang akan terjadi. Dari perkiraan itu, kita memersiapkan
langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengontrol segala hal yang mungkin
timbul, entah itu merugikan atau menguntungkan.
C. Aksiologi
Ø Pengertian
Secara etimologis, istilah eksiologi
berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai
dan “logos” yang berarti teori. Jadi, aksiologi merupakan cabang dari filsafat
yang mempelajari nilai. Aksiologi mempelajari tentang hakikat nilai. Dalam hal
ini aksiologi berkaitan dengan kebaikan dan keindahan tentang nilai dan
penilaian. Hal ini merupakan bidang kajian tentang dari mana sumber nilai, akar
dan norma serta nilai subsransif dan standar nilai. Etika berkaitan dengan
kualitas, moralitas pribadi dan perilaku sosial. Drmikian pula etika merupakan
penentuan perilaku yang baik, masyarakat yang baik dan kehidupan yang baik.[9]
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada
di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu
sendiri. Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan
hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri,
atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu
sendiri.
Menghadapi kenyataan seperti ini,
ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai
mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya:
·
untuk apa
sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan?
·
Dimana
batas wewenang penjelajahan keilmuan?
·
Ke arah
mana perkembangan keilmuan harus diarahkan?
·
Apakah
ilmu itu bermanfaat bagi manusia itu sendiri?
Pertanyaan semacam ini jelas tidak
merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan
seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah
mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang
dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk
menjawab pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Dasar aksiologis ilmu membahas
tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkanya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi
manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari atom
kita dapat memanfaatkan untuk sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal
ini juga dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan
meningkatkan kualitas persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu
dipergunakan akan mengancam keselamatan umat manusia.[10]
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya
ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang
berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan
alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan
sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah
interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang
berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana
adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan
kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran
diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber
pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi
Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut,
dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah kemanusiaan di hiasi dengan
semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa
yang mereka anggap benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum
racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan
tak pernah urung di halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral
maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual.
Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti
sekarang ini berganti dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan
kebenaran. “segalanya punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri
ajaib, “asalkan kau mampu menemukannya.”[11]
Ø Hakikat dan Makna Nilai
Pertanyaan
mengenai hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara:
»
Nilai
sepenuhnya berhakikat subjektif . Ditinjau dari sudut pandangan ini,
nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku
dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka. Yang demikian
ini dapat dinamakan “subjektivitas”.
»
Nilai
merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat
dalam
ruang dan waktu . Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat
diketahui melaui akal. Pendirian ini dinamakan “obyektivitas logis”.
»
Nilai
merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan Pendirian ini disebut
“obyektivitas metafisik”.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa
“nilai” memiliki bermacam makna, diantaranya:
»
Mengandung
nilai (artinya berguna)
»
Merupakan
nilai (artinya “baik” atau “benar” atau “indah”)
»
Mempunyai
nilai (artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat
menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui”, atau
»
mempunyai
sifat nilai tertentu)
»
Memberi
nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau
sebagai
hal yang menggambarkan nilai tertentu).
Ø Kegunaan dan Nilai Ilmu
Kegunaan ilmu secara moral harus
ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah
hakikat kemanusiaan. Tiap ilmu terutama dalam implementasinya selalu terkait
dengan aksiologinya. Dalam hal ini akan dijelaskan seberapa jauh ilmu mempunyai
peranan dalam membatu mencapai kehidupan manusia yang sejahtera di dunia ini
atau apakah manfaat ilmu bagi kehidupan manusia di dunia ini. Manusia belajar
dari pengalamannya dan berasumsi bahwa alam mengikuti hukum-hukum dan
aturan-aturannya. Ilmu merupakan hasil kebudayaan manusia, dimana lebih
mengutamakan kuantitas yang obyektif dan mengesampingkan kualitas subjektif
yang berhubungan dengan keinginan pribadi sehingga dengan ilmu, manusia tidak
akan mementingkan dirinya sendiri.
Ilmu merupakan wahana dalam menjawab
semua permasalahan (sampai batas tertentu), berdasarkan pemahaman yang dimiliki
sekaligus ilmu mampu memprediksikan masa depan walaupun banyak hal yang kadang
terjadi di luar dugaan. Peradaban manusia sekarang ini tak lepas dari perkembangan
ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi, pemenuhan kebutuhan
manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan
kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman,
pendidikan, dan komunikasi.
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi
kajian dalam bidang aksiologi ini adalah berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di
pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah
moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?13 Oleh
karena itu, pada tingkat aksiologis, pemahaman tentang nilai-nilai adalah hal
yang mutlak. Nilai menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia itu
sendiri. Oleh karena dalam penerapannya ilmu pengetahuan juga mempunyai efek
negatif dan desktruktif, maka diperlukan aturan nilai dan norma untuk
mengendalikan potensi nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan
ilmu pengetahuan. Di sininlah etika menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi
penyemangat yang baik bagi pengetahuan untuk meningkatkan derajat hidup serta
kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Etika adalah pembahasan mengenai baik,
buruk, semestinya, benar atau salah. Hal ini bertalian dengan hati nurani,
bernaung di bawah filsafat moral. Etika merupakan tatanan konsep yang
melahirkan kewajiban, dengan asumsi bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan akan
mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia.
BAB III
ANALISIS
ANALISIS
Dari pembahasan di atas yang dapat kami
simpulkan :
1.
Ontologis;
cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana wujud yang
hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya
tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan
pengetahuan.
2.
Epistemologi
berusaha menjawab bagaimana proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan
yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan
agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu
sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
3.
Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang
berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut
dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat di tarik
kesimpulan :
Ontologi membahas tentang apa yang diketahui oleh
manusia. Karena tak mungkin yang tiada memberikan efek pada pikiran manusia,
maka pasti yang tercermin dalam pikiran manusia adalah suatu realitas. Realitas
(kenyataan) adalah segala sesuatu yang ada. Untuk memudahkan pemahaman manusia,
kenyataan diidentifikasi menjadi dua hal yaitu kenyataan yang bisa diukur oleh
manusia dan yang tidak bisa diukur oleh manusia. Yang bisa diukur secara
kuantitatif oleh manusia disebut sebagai kenyataan materi, sedangkan kenyataan
yang tidak bisa diukur secara kuantitatif manusia disebut sebagai kenyataan
nonmateri. Dengan kata lain materi adalah kenyataan yang bisa diindera dan
nonmateri adalah sebaliknya. Realitas materi mempunyai banyak ciri-ciri yaitu;
Ø terbatas ruang dan waktu;
Ø dapat dibagi;
Ø tersusun oleh sesuatu yang lain;
Ø memiliki ukuran kuantitatif (dapat
diukur secara kuantitatif).
Contoh dari realitas materi adalah kursi, mobil, pesawat,
darah, atom dan lain sebagainya. Realitas non-materi mempunyai ciri kebalikan
dari materi. Contoh dari realitas nonmateri adalah akal, jiwa, pikiran dll.
Epistemologi membahas tentang bagaimana seorang manusia
mendapatkan pengetahuan. Pentingnya pembahasan ini berkaitan dengan apakah
suatu ilmu apakah ia diperoleh dengan cara yang bisa didapatkan orang lain atau
tidak. Jika tidak dapat diketahui orang lain maka pengetahuannya tidak dapat
dipelajari oleh orang lain. Secara garis besar, dalam epistemologi cara
mendapatkan pengetahuan ada dua yaitu secara ilmiah dan secara tidak ilmiah.
Pengetahuan secara ilmiah bukan berarti lebih benar dari pengetahuan secara
tidak ilmiah.
Pembagian ini hanya didasarkan pada dapat atau tidaknya
semua orang memperoleh pengetahuan tersebut. Pengetahuan secara ilmiah didapat
melalui dua hal yaitu secara rasional dan secara empiris. Pengetahuan secara
rasional berkaitan dengan cara mendapatkan pengetahuan berdasarkan
kaidah-kaidah berpikir. Adapun pengetahuan secara empiris berkaitan dengan
apakah suatu pengetahuan sesuai dengan kenyataan empirik. Semua manusia dapat
melakukan kedua hal tersebut karena semua manusia memiliki potensi akal
sekaligus potensi inderawi. Potensi akal manusia mutlak sama, sedangkan potensi
inderawi manusia tidak mutlak sama tetapi mempunyai kemiripan yang erat.
Pengetahuan yang didapatkan secara tidak ilmiah bisa terjadi dengan berbagai cara
seperti melalui wahyu, intuisi, perasaan dan informasi dari orang yang
dipercaya.
Pengetahuan yang didapatkan dengan cara ini tidak dapat
dipelajari oleh semua orang. Ia membutuhkan kebenaran ilmiah untuk meyakinkan
orang- orang yang tidak mengalami hal yang sama dengan orang yang
mempercayainya. Aksiologi membahas tentang nilai suatu pengetahuan. Nilai dari
sesuatu tergantung pada tujuannya. Maka pembahasan tentang nilai pengetahuan
tidak dapat dipisahkan dari tujuannya. Masing-masing manusia memang mempunyai
tujuan sendiri. Namun pasti ada kesamaan tujuan secara obyektif bagi semua
manusia.
Pembahasan tentang aksiologi begitu penting karena jika
pengetahuan yang didapatkan manusia tidak dapat dipastikan atau dimutlakkan
kebenarannya, maka bagaimana mungkin manusia dapat menyusun sebuah ilmu.
Bagaimana pula manusia akan menentukan pilihan jika antara satu pilihan dengan
pilihan lain bernilai sama, yaitu relatif. Pengertian relatif adalah jika
sesuatu memiliki nilai yang berubah-ubah jika dibandingkan dengan sesuatu yang
berbeda-beda. Misalnya 5 meter akan relatif panjang jika dibandingkan dengan 1
meter dan juga relatif pendek jika dibandingkan dengan 10 meter. Ketika manusia
berpikir, maka pembanding dari pikiran tidak berubah-ubah yaitu kenyataan itu
sendiri. Sehingga suatu pengetahuan hanya akan dihukumi dengan nilai benar atau
salah. Jika suatu pengetahuan sesuai dengan realitasnya maka pengetahuan
tersebut benar, begitu juga sebaliknya. Pembandingan kebenaran suatu
pengetahuan dengan
pengetahuan lain yang
berbeda-beda akan bernilai relatif.
B. Saran
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat
bermanfaat bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari
Allah, dan yang buruk datangnya dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami
ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi
kami harafkan saran dan kritik nya yang bersifat membangun, untuk perbaikan
makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Rizal Mustansyir dan Misnal Munir.
(2001). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
2. Drs. Usiono,MA, Aaliran-aliran
Filsafat Pendidikan,2006. Penerbit Perdana Publishing. Jakarta.
3. Suparlan Suhartono. Filsafat
Pendidikan 2007. Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar- Ruzz Media. Hal 44
4. Jujun S. Suriasumantri.2003.Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
5. Drs. Usiono,M.A, Pengantar Filsafat
Pendidikan ,2006. Hijri Pustaka Utama Jakarta.
6. Mohammad Noor Syam. Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan. Pancasila Usaha Nasional
Surabaya.
7. Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas
Filsafat UGM.Filsafat Ilmu 2000.
Penerbit Liberty Yogyakarta.
[1] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu 2001.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Hal 49-50
[2] Drs. Usiono,MA, Aaliran-aliran Filsafat Pendidikan,2006.
Penerbit Perdana Publishing. Jakarta. Hal : 53
[3] Suparlan Suhartono. Filsafat Pendidikan 2007. Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar- Ruzz Media. Hal 44
[4] Jujun S. Suriasumantri.2003.Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.Hal 34-35
[5] Drs. Usiono,M.A, Pengantar Filsafat Pendidikan ,2006. Hijri
Pustaka Utama Jakarta. Hal 58
[6] Mohammad Noor Syam. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan. Pancasila Usaha Nasional Surabaya. Hal 32
[7] Drs. Usiono,MA, Aliran-aliran Filsafat Pendidikan,2006.
Penerbit Perdana Publishing. Jakarta. Hal 57
[8] Al-Ghazali, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan, hlm. 32
[9] Drs. Usiono,M.A, Pengantar Filsafat Pendidikan ,2006. Hijri
Pustaka Utama Jakarta. Hal 62-63
[10] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM.Filsafat Ilmu 2000. Penerbit Liberty
Yogyakarta.hal 91
[11] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hal.
34-35.
mantap gan..
BalasHapus