BAB II
BIOGRAFI AL-GHAZALI
A.
Kisah Hidupnya
Nama lengkapnya ialah Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali Altusi, mendapat gelar Imam Besar
Abu Hamid Al-Ghazali Hujatul Islam yang dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di
suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia. Ia
keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja Saljuk yang
memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jajirah, Persia, dan Ahwaz. Ayahnya
seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha sendiri, bertenun kain bulu dan ia
sering kali mengunjungi rumah para ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada
mereka, ia (ayah Al-Ghazali) sering berdoa kepada Allah agar diberikan anak
yang pandai dan berilmu, Akan tetapi beliau belum sempat menyaksikan (menikmati)
jawaban Allah (karunia) atas doanya, ia meninggal dunia pada saat putra idamannya masih usia anak-anak.
Sebelum meninggal dunia, ia pernah
menitipkan kedua anaknya (seorang diantaranya adalah Muhammad, yang kemudian
dijuluki Al-Ghazali), kepada seorang sufi (sahabat karibnya) sambil mengucapkan
kalimat yang bernada menyesal : “Nasib
saya sangat malang, karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin supaya
kemalangan saya dapat ditebus oleh kedua anakku ini. Peliharalah mereka dan
pergunakanlah sampai habis harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk mengajar
mereka”
Akan tetapi yang menjadi modal
utamanya adalah kasih sayang ibu yang selalu menjadi pendorong moril bagi
mereka untuk belajar terus. Setelah harta peninggalan ayahnya habis terpakai,
tidaklah mungkin bagi sang sufi itu untuk memberi nafkah kepada mereka berdua,
sang sufi pun berkata : ’’ketahuilah
bahwa saya telah membelanjakan bagi kalian, seluruh harta peninggalan ayahmu.
Saya seorang miskin dan bersahaya dalam hidupku. Saya kira hal yang terbaik
yang dapat kalian lakukan ialah ke dalam madrasah sebagai murid. Dengan jalan
ini kalian akan mendapatkan makanan untuk kelangsungan hidupmu.” Kedua anak
tersebut berlaku demikian dan ini menjadi sebab dari kebahagian dan tercapainya
cita-cita luhur mereka.
Di dalam madrasah tersebut,
Al-Ghazali (seorang dari dua anak yang dititipkan tersebut) mempelajari ilmu
Fikih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani dan mempelajari ilmu tasauf kepada
Yusuf An-Nasaj, sampai dalam usia 20 tahun. Kemudian Al-Ghazali memasuki
sekolah tinggi Nidhamiyah, dan disinilah ia bertemu dengan Imam Haramain. Prof.
Dr. Abu Bakar Aceh mengisahkan sebagai berikut :
“Al-Ghazali
mempelajari ilmu fiqh, mantiq, dan ushul, dan mempelajari antara lain :
Filsafat dari risalah-risalah Ihwanus Shofa karangan Al-Farabi, Ibnu Maska
Waih. Sehingga dengan melaui ajaran-ajaran ahli filsafat itu, Al-Ghazali dapat
menyelami paham-paham Aristoteles dan pemikir Yunani yang lain, Juga
ajaran-ajaran Imam Syafi’i, Harmalah, Jambad, Al-Muhasibi dan lain-lain, bukan tidak berbekas pada
pendidikan Al-Ghazali. Begitu juga Imam Abu Ali Al-Faramzi, bekas murid
Al-Qusyairi yang terkenal dan sahabat As-Subkhi, besar jasanya dalam mengajar
ilmu Tasauf pada Al-Ghazali, ia mempelajari juga agama Masehi.”
Bahkan Al-Ghazali sanggup bertukar
pikiran dengan aliran dan agama, serta menulis berbagai buku didalam berbagai
cabang ilmu pengetahuan, sehingga keahlianya itu diakui dapat mengimbangi
gurunya yang sangat dihormatinya itu. Dalam usianya yang baru mencapai 28
tahun, Al-ghazali telah menggemparkan kaum sarjana dan ulama dengan
kecakapannya yang luar biasa. Di Naisaburi ia telah menghidupkan paham
skeptisme yang dianut oleh para sarjana Eropa pada masa berikutnya.
Al-Ghazali sejak kecilnya dikenal sebagai
seorang anak pecinta ilmu pengetahuan dan selalu ingin mencari kebenaran yag
hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa dan nestapa serta
dilamun sengsara.
Dalam sebuah karyanya ia mengisahkan
: kehausan untuk mencari hakikat kebenaran sesuatu sebagai habitat dan favorit
saya sejak kecil dan mudaku adalah insting dan bakat yang dicampakkan Allah swt. Pada temperamen saya, bukan
merupakan usaha dari rekaan saja.
Kemudian pada tahun 483 H/1090 M, ia
diangkat menjadi Guru Besar di Universitas Nidhamiyah Baghdad, tugas dan
tanggung jawabnya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad
selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran
golongan batiniyah, ismailiyah, filsafat, dan lain-lainnya.
Para mahasiswa sangat gemar dengan
kuliah-kuliah yang disampaikan Al-Ghazali oleh karena begitu alam dan luas ilmu
pengetahuan yang ia miliki, para mahasiswa dan sarjana yang tidak kurang jumlah
nya dari 300 sampai 500 orang sering kali terpukau pada kuliah yang disampaikan.
Bahkan para ulama dan masyarakat pun mengikuti perkembangan pikiran dan
pandangannya, sehingga tidak heran jika ia menjadi sangat mashur dan populer
dalam waktu yang relatif tidak lama.
Sebenarnya Al-Ghazali telah menelaah
seluruh paham, aliran dan ajaran-ajaran firqah, thaifah dan filsafat.
Kesemuanya itu menimbulkan pergolakan dalam otaknya sendiri, karena tidak ada
yang memberikan kepuasan hatinya (batinnya), sehingga ia ragu kepada
kesanggupan akal untuk mendekatkan diri kepada Allah, apalagi untuk mengetahui
hakikatnya.
A.
Hanafi
M. A, mengisahkan :
“Dan
selama waktu itu ia tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya,
sehingga akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat
lahiriah (Psikoterapi). Pekerjan itu kemudian ditinggalkannya pada tahun 488 H,
untuk menuju Damsyik dan dikota itu ia merenung, membaca dan menulis selama
kurang lebih dua tahun, dengan Tasauf sebagai jalan hidupnya.”
Dari
kota Damsyik ia pindah ke Palestina dan disini pun ia tetap merenung, membaca
dan menulis dengan mengambil tempat dimesjid Baitul Maqdis. Setelah itu
begeraklah hatinya untuk menunaikan ibadah haji, dan kemudian ia pulang ke
negeri kelahirannya. Setelah mengabdikan diri untuk ilmu penetahuan berpuluh-puluh
tahun dan setelah memperoleh kebenaran yang hakiki pada akhir hidupnya, ia
meninggal dunia di Thus pada 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111 M,
dihadapan adiknya, Abu Ahmadi Mujidduddin meninggalkan 3 orang anak perempuan
sedang anak laki-lakinya yang bernama Hamid telah meninggal dunia semenjak
kecil sebelum wafatnya Al-Ghazali, karena anak inilah, ia digelari “Abu Hamid”
(bapak si Hamid).
B.
Kemasyhurannya
Sesuatu hal yang wajar
dan menjadi kebiasaan umat manusia sepanjang sejarah, bahwa seseorang pemikir
yang kontroversial adalah dikutuk dan dipuja. Demikian pula Al-Ghazali, ia
adalah seorang tokoh dan pemikir dalam berbagai disiplin (universalist) yang
terkenang sepanjang masa, banyak kawan yang memuja dan banyak pula yang
mencerca, banyak kawan yang sepaham dan banyak pula lawan yang menentang,
diagungkan dan dicaci maki, dibela dan di benci.
Penelitian yang kritis, obyektif dan
mendalam, hendaknya menerima dan menyelidiki segala pujian dan celaan yang
datang, sebagaimana disinyalir Dr, Sulaiman Dunia; “Maka adalah suatu kewajiban
atas setiap orang yang mau mengenal Al-Ghazali, supaya berpindah pindah di
antara berbagai golongan itu, sehingga membuka telinga terhadap segala pujian
atau celaan. Sebab, pemimpin tidaklah dapat dikenal hanya dengan mendengarkan
cacian lawannya saja, dan tidak pula pujian simpatisannya belaka, karena
keduanya melampaui batas.
Mereka yang menyanjung setinggi
langit memberikan komentar, “Tanpa kehadirannya, ilmu-ilmu agama, akhlak dan
tasauf pada abad belakangan ini telah lama pudar cahayanya. Oleh karena itu
Al-Ghazali biasa dipanggil dengan beberapa nama julukan, diantaranya : Hujjatul
Islam, bapak ahli tasauf, pembela ahli sunnah wal jama’ah dan pemelihara tauhid
pemusnah syirik.”
Dr. Zwemmer, mustasyrik (orientalis)
Inggris yang cukup berpengaruh pernah menempatkan Al-Ghazali sebagai salah satu
dari empat orang pilihan pihak islam dari zaman Rasulullah saw. Sampai zaman
kita sekarang ini, yakni : pertama Muhammad saw. Sendiri kedua Al-Bukhari,
ketiga Al-asy’ari dan keempat Al-Ghazali (M. Natsir,1973, 35)
Demikian
itu masih banyak para sarjana, ulama maupun pengikutnya yang berlebih-lebihan
dalam memujanya, sehingga hanya ditampilkan kebaikan, kebesaran dan
kelebihannya saja dengan cara melampaui batas kewajaran. Dikatakan oleh
As-Subkhi (wafat tahun 1370 H). “Seandainya ada lagi Nabi setelah Muhammad,
maka ia adalah Al-Ghazali.”
Dan
sebaliknya, mereka yang amat tajam mengkritiknya terhadap Al-Ghazali mengatakan
: “Dosa besar, kemunduran umat Islam dalam duniawi dan ilmu filsafah adalah
atas tanggung jawab beliau, karena menganjurkan manusia hidup secara sufi dan
suhud serta uslah.” Oleh karena itu, Al-Ghazali dikecam dengan kata-kata yang
sangat tajam dan pedas, seumpama :”Ghazali musuh dan musuh ahli pikir,
pengebiri kemerdekaan berfikir yang berani, dari zaman Al-Ghazali lah bertolak
kemunduran Islam, Al-ghazali anti ilmu pengetahuan umum, seperti ilmu alam,
ilmu kimia, matematika dan filsafat, karena semuanya menurut pendapat
Al-Ghazali menjurus kearah anti Tuhan atau ‘atheisme.”
Dr.
Fuad Al-Ahwani, Guru besar Cairo University berpendapat, bahwa Al-Ghazali telah
menyembelih dunianya sendiri, seperti seorang menyembelih ayamnya yang
bertelurkan emas. Lebih baik kiranya, Al-Ghazali tidak muncul didunia Islam dan
sebaliknya dilahirkan dalam dunia Kristen Katholik, atau dimana saja di luar
Islam.
Sebagai
diketahui, Al-Ghazali mengkritik filosuf-filosuf dalam “tahafutul Falasifah”
nya dalam 20 masalah, 3 diantara yang 20 itu membuat filosuf, kata Al-Ghazali,
menjadi kafir, yaitu : tentang qadimnya alam, tidak tahunya Allah tentang
rincian yang terjadi dialam, dan tiadanya hari pembangkitan jasmani.
Sebenarnya
anggapan yang demikian itu berlebih-lebihan, harus memerlukan penelitian yang
lebih jauh, kritis mendalam dan obyektif dengan mengemukakan fakta-fakta
sejarah yang otentik, bukan hanya menyebarkan isu negatif yang kurang mempunyai
dasar atau bahkan mengandung unsur kedjaliman belaka, yang mengutamakan
emosional daripada argumentasi rasional logis.
Tidak
sedikit pula ulama-ulama besar juga memberi kecaman yang tajam, terhadap
Al-Ghazali dari berbagai segi, antara lain : “Ibnu Rusyd (filosof sekaligus
ulama) menghantamnya habis-habisan dilapangan ilmu filsafat, karena bukunya
tahafutul Falasifah, Ibnu Taimiyah (ulama salaf) mengupas pendiriannya dilapangan
ilmu tasauf yang dianggapnya sangat menyesatkan, Ibnu Qoyyim ( pakar fiqih
Islam) menyalahkan dilapangan ilmu-ilmu hukum, karena fatwa-fatwanya yang
banyak menolak dan berlawanan dengan Syari’at. Bahkan pada waktu akhir ini, Dr.
Zaki Mubarrak mengecamnya dilapangan ilmu akhlak, karena dituduhnya paham-paham
Al-Ghazali yang negatif sangat melumpuhkan jiwa dan api Islam.”
Sebenarnya,
pertentangan Al-Ghazali dan filosof-filosof Islam adalah pertentangan
penafsiran teolog dan penafsiran filosof. Penafsiran yang diberikan
filosof-filosof Islam tentang beberapa soal keagamaan berbeda dengan diberikan
Al-Ghazali, penafsiran filosof Islam lebih liberal dari penafsiran Al-Ghazali
yang menganut Asy’ariyah.
Menurut
pengkajian Abul A’la Al-Maududi, ada delapan segi amaliah pembaruan yang
dilakukan Al-Ghazali pada masa hidupnya, yaitu :
1. Pengkajian filsafat yunani dengan cara
mendalam dan teliti lalu mengkemukakan kritik yang tajam, yang kemudian
dimasukkan nya kedalam hati dan jiwa kaum muslimin.
2. Meluruskan kekeliruan yang terjadi
akibat upaya perbaikan yang dilakukan oleh ulama mutallimin yang kurang
menguasai logika.
3. Menjelaskan akidah-akidah Islam dan
prinsip-prinsipnya melalui logika yang berkembang saat itu. Al-Ghazali juga
berusaha menjelaskan berbagai hikmah dan rahasia syari’at dan ibadat dalam
rangka meluruskan pandangan masyarakat, yang selama ini diracuni suatu
keyakinan bahwa agama mereka sudah tidak sesuai dengan akal.
4. Menentang semua airan keagamaan yang ada
pada masanya, serta berusaha mempertemukan segi-segi perbedaan mereka.
5. Memperbaharui pemahaman keagamaan umat
dan menyatakan ketidak bergunaan keimanan seseorang yang tidak disertai dengan
komitmen batin, mengikis habis taklid buta dikalangan mereka dan berusaha
mendorong umat agar kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang bersih serta
menghidupkan kembali semangat ijtihad.
6. Melakukan kritik terhadap sisitem
pendidikan dan pengajaran yang telah usang, mengantikannya dengan sistem baru.
Dalam sistem pendidikan dan pengajaran lama terdapat dua kelemahan ; pertama,
polarisasi ilmu agama dan umum yang tidak mustahil akan menyebabkan manusia
akan menerapkan sekularisasi, pandangan dikotomi semacam ini, menurut
Al-Ghazali jelas amat keliru, kedua, masuknya berbagai hal yang diatas memiliki
ilmu syari’at yang pada hakikatnya tidak memiliki kaitan apa pun dengan
syari’at, yang bisa mengakibatkan munculnya pemahaman keagamaan dalam
masyarakat yang menjurus pada kesesatan.
Adapun
gelar “Hujjatul Islam” dari dunia Islam kepada Al-Ghazali, dapat diartikan
bahwa umat manusia umumnya mengakui bahwa amal dan ilmu Al-Ghazali selama
hidupnya merupakan suatu hujjah, pembelaan yang berhasil menentang anasir luar yang
membahayakan kepercayaan umat Islam.
Dengan
melalui pengalaman mistiknya yang mendalami berhasil mengawinkan
prinsip-prinsip filsafat dan mistik ke alam sistem teologinya. Atau barangkali
disinilah letak kebesaran dan kemasyhuran Al-Ghazali, yakni dalam mencari suatu
sintesa yang mantap antara unsur-unsur yang bertentangan dalam khajanah intelektual
skolastik Islam. Segala sesuatu apabila telah mencapai kesempurnaan dan
kebesarannya, maka tampaklah ia dimana kekurangannya, dengan kata lain, tanda
gading yang tulen adalah retaknya, Al-Ghazali pun demikian. Abul A’la
Al-Maududi mengkoreksi gerakan pembaharuan yang dilakukan Al-Ghazali dari segi
pandangan ilmiah memiliki tiga kelemahan utama :
1.
Kelemahan
beliau dalam segi pemahaman ilmu hadist (segi selektifitas pemakaian hadist).
2.
Kuatnya
pengaruh logika dalam dirinya
3.
terlalu
dalam amaliah yang mengarah kepada tasauf.
C.
Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz
Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah
6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali.
Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di
Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah
Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali.
Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir
Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid
Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama
kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan
penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu
menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul
Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang
benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan
berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah,
dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah
penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat
Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli
nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran
nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari
penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya
6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara
yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki,
Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
D.
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut
Ilmu
Ayah beliau adalah seorang
pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota
Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya
dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak
belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah
saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan
harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya
tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang
sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat
orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh
kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya
seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian
berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga
memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan
anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka.
Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut
ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena
Allah ta’ala.” Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih.
Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit.
Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta
memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih),
beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di
majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk
diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua
doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya
(Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari
Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194). Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih
kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota
Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al
Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat.
Beliau mendatangi kota Naisabur
dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga
berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf,
ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami
perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya.
Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini. Setelah Imam
Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul
Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau
menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul
Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan
memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat
ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An-Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan
tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan
yang sangat tinggi.
B.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam
diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap
filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan
tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya
saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam
hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar
meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat
dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah
Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam
kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya
terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah
dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan
kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat
sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya
beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah
karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan
terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini
(Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia
membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya,
dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah
memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau
senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan
penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang
yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam
Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk
tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama
muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi
mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar
dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
F. Polemik
Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan
beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya
berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu
kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas
dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan
mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk
kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis
beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’
Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al
Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di
sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab
Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau
tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid
rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan
bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan
kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil
oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan
dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi
pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya
pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di
Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan
tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil
oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi
penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur.
Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An
Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan
menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu
madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau
habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli
ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah
lainnya sampai meninggal dunia.
G. Masa Akhir
Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan
dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam
Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan
berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).
Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu
singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan
kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi
menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat,
menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid
berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau
mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata,
“Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan
kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning
(menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala
6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir
tahun 505 H dan dikuburkan
di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
BAB
III
PEMIKIRAN
AL-GHAZALI
A. Pemikiran
al-Ghazali Tentang Pendidikan
Sistem pendidikan al-ghazali sangat dipengaruhi luasnya ilmu
pengetahuan yang dikuasainya, sehingga dijuluki filosof yang ahli tasawuf
(Failasuf al-Mutasawwifin) Dua corak ilmu yang telah terpadu dalam dirinya itu
kemudian turut mempengaruhi formulasi komponen-komponen dalam sistem
pendidikannya. Ciri khas sistem pendidikannya al-Ghazali sebenarnya terletak
pada pengajaran moral religious dengan tanpa mengabaikan urusan dunia
1.
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi
tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan
dan taqorrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau
mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selain
untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan
kemudharatan. Al-Ghazali berkata : “ hasil dari ilmu sesungguhnya ialah
mendekatkan diri kepada Allah, dan menghubungkan diri dengan para malaikat yang
tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua adalah keberhasilan, pengaruh
pemerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri ”.
Menurut al-Ghazali, pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan
pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu tidak akan diperoleh kecuali melalui
pengajaran. Selanjutnya, dari kata-kata tersebut dapat difahami bahwa menurut
al-Ghazali tujuan pendidikan dapat dibagi menjadi 2 yaitu tujuan jangka panjang dan pendek.
a.
Tujuan
pendidikan jangka panjang Adalah mendekatkan diri kepada Allah, pendidikan
dalam prosesnya harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan kemudia
pendekatan diri kepada Allah. Menurut konsep ini, dapat dinyatakan bahwa
semakin lama seseorang duduk dibangku pendidikan, semakin bertambah ilmu
pengetahuannya, maka semakin mendekat kepada Allah. Tentu saja untuk mewujudkan
hal itu bukanlah sistem pendidikan yang memisahkan ilmu-ilmu keduniaan dari
nilai-nilai kebenaran dan sikap religius, tetapi sistem pendidikan yang
memadukan keduanya secara integral. Sistem inilah yang mampu membentuk manusia
yang mampu melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan dan sistem pendidikan
al-Ghazali mengarah kesana.
b. Tujuan pendidikan jangka pendek Adalah diraihnya profesi
manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu
adalah, manusia mengembangkan ilmu pengetahuan baik yang fardu ‘ain maupun
fardu kifayah
Kesimpulan tujuan pendidikan menurut al-Ghazali :
1) Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya
adalah kemampuan dan dengan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunnah.
2) Menggali dan mengambangkan potensi atau fitrah manusia.
3) Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk
mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
4) Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci
jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
5) Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama
sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
2. Kurikulum Pendidikan
Pandangan al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari pandangan
mengenai tentang ilmu pengetahuan. Kurikulum pendidikan yang disusun al-ghazali
sesuai pandanganya mengenai tujuan pendidikan yakni mendekatkan diri kepada
Allah yang merupakan tolak ukur manusia. Untuk menuju kesana diperlukan ilmu
pengetahuan
Mengurai kurikulum pendidikan menurut al-ghazali, ada dua hal yang menarik bagi
kita. Pertama, pengklasifikasian terhadap ilmu pengetahuan yang
sangat terperinci yang segala aspek yang terkait dengannya. Kedua,
pemikiran tentang manusia dengan segala potensi yang dibawanya sejak lahir.
Semua manusia esensinya sama. Ia sudah kenal betul dengan pencipta sehingga
selalu mendekat padanya dan itu tidak akan berubah. Al-ghazali
mengklasifikasikan manusia adalah pribadi yang satu yang tidak dapat disamakan
dengan pribadi yang lain. Tingkat pemahaman, daya tangkap, dan daya ingatnya
terhadap ilmu pengetahuan, kemampuan menjalankan tugas hidupnya berbeda antara
orang yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan
kurikulum al-ghazali mendasarkan pemikiranya bahwa kurikulum pendidikan harus
disusun dan selanjutnya disampaikan kepada murid sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan psikisnya. Selanjutnya al-ghazali membagi ilmu pengetahuan dari
beberapa sudut pandang, yaitu :
a. Berdasarkan pembidangan ilmu
Dibagi menjadi dua bidang, yaitu ilmu
syari’ah sebagai ilmu terpuji terdiri atas ilmu ushul, ilmu furu’, ilmu
pengantar, muqoddimah, dan ilmu pelengkap. Yang kedua yaitu ilmu yang bukan
ilmu syari’ah, terdiri dari ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian,
pembangunan, tata pemerintahan, industri, kebudayaan, sastra, ilmu tenun dan
pengolahyan pangan
b. Berdasarkan objek, Ilmu dibagi atas tiga kelompok,
yaitu :
1) Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak baik sedikit ,maupun
banyak. Seperti, sihir, azimat, dan ilmu tentang ramalan nasib.
2) Ilmu pengetahuan yang terpuji. Seperti ilmu agama, dan ilmu tentang
beribadat.
3) Ilmu pengetahuan
yang dalam kadar tertentu terpuji tapi jika mendalaminya tercela Seperti dari
filsafat naturalisme. Menurut al-ghazali ilmu tersebut jika diperdalam akan
menimbulkan kekacauan fikiran dan keraguan, sehingga mendorong manusia kepada
kufur dan ingkar.
c. Berdasarkan status hukum mempelajarinya yang
terkait dengan nilai guna. Dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1) fardu ain, yang wajib
dipelajari setiap individu misalkan illmu agama dan cabang-cabangnya
2) fardu kifayah, yaitu ilmu
yang tidak diwajibkan pada setiap muslim tetapi harus ada diantara orang muslim
yang mempelajarinya. Misalkan ilmu kedokteran, ilmu hitung, pertanian, politik,
dan pengobatan tradisional.
3.
Pendidik
Dalam hal ini al-ghazali berkata : “ makhluk yang paling mulia di muka
bumi adalah manusia. Sedangkan yang paling mulia penampilanya ialah kalbunya.
Guru atau pengajar selalu menyempurnakan, mengagungkan dan mensucikan kalbu itu
serta menuntutnya untuk dekat kepada Allah”.
Dia juga berkata ; “ seseorang yang berilmu dan kemudian bekerja dengan
ilmunya itu, dialah yang dinamakan orang besar dibawah kolong langit ini. Ia
bagai matahari yang mencahayai orang lain, sedangkan ia sendiri pun bercahaya.
Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, ia sendiri pun harum”. Menurut
al-ghazali seorang pendidik atau guru harus memiliki beberapa sifat sebagai
berikut :
a.
Bertanggug
jawab
b.
Sabar
c.
Duduk tenang
penuh wibawa
d.
Tidak sombong
terhadap semua orang, kecuali terhadap orang yang dzolim dengan tujuan untuk
menghentikan kedzolimanya.
e.
Mengutamakan
bersikap tawadhu’ di majelis-majelis pertemuan
f.
Tidak suka
bergurau dan bercanda
g.
Ramah
terhadap para pelajar
h.
Teliti dan
setia mengawasi anak yang nakal
i.
Setia
membimbing anak yang bebal
j.
Tidak gampang
marah kepada anak yang bebal dan lambat pemikiranya
k.
Tidak malu
untuk mengatakan akan ketidaktahuannya tentang persoalan yang belum ditekuninya.
l.
Memperhatikan
murid yang bertanya dan berusaha menjawabnya dengan baik.
m.
Menerima
alasan yang diajukan kepadanya
n.
Tunduk kepada
kebenaran
o.
Melarang
murid yang mempelajari ilmu yang membahayakan.
p.
Memperingatkan
murid mempelajari ilmu agama tetapi untuk kepentingan selain Allah
q.
Memperingatkan
murid agar tidak sibuk mempelajari ilmu fardu kifayah sebelum selesai dengan
mempelajari ilmu fardu ‘ain
r.
Memperbaiki
ketaqwaaanya kepada Allah
s.
Mempraktekkan
makna taqwa dalam kehidupan sehari-harinya ssebelum memerintahkan kepada murid
agar murid mengikuti perbuatanya dan agar murid mengambil manfaat dari
ucapan-ucapanya.
4.
Peserta didik
Al-ghazali berkata : “ Seorang pelajar hendaknya tidak menyombongkan
diri dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya. Tetapi menyerah sepenuhnya
kepada guru dengan keyakinan kepada segala nasihatnya sebagaimana seorang sakit
yang bodoh yakin kepada dokter yang ahli dan berpengalaman. Seharusnya seorang
pelajar itu tunduk kepada gurunya, mengaharap pahala dan kemuliaan dengan
tunduk kepadanya.”
Sedangkan menurut al-ghozali,
peserta didik haruslah sebagai berikut :
a. Hendaknya memberi ucapan salam
kepada guru terlebih dahulu
b. Tidak banyak bicara di hadapannya
c. Tidak berbicara selagi tidak
ditanya gurunya
d. Tidak bertanya sebelum meminta
izin terlebih dahulu
e. Tidak menentang ucapan guru
dengan ucapan (pendapat) orang lain
f. Tidak menampakkan pertentangannya terhadap pendapat gurunya, apalagi
menganggap diriya lebih pandai dari gurunya
g. Tidak boleh berisik kepada teman yang duduk di sebelahnya ketika
guru sedang berada dalam majlis itu
h. Tidak menoleh-noleh ketika sedang berada di hadapan gurunya, tetapi
harus menundukkan kepala dan tengang seperti dia sedang melakukan shalat
i. Tidak banyak bertanya kepada
guru, ketika kondisi guru dalam keadaan letih
j. Hendaknya berdiri ketika gurunya berdiri dan tidak berbicara dengannya
ketika dia sudah beranjak dari tempat duduknya
k. Tidak mengajukan pertanyaan
kepada guru di tengah perjalananya
l. Tidak berprasangka buruk pada guru ketika ia melakukan perbuatan
yang dhohirnya munkar, sebab dia lebih mengetahui rahasia (perbuatannya)
5.
Media dan Metode
Metode dan media yang dipergunakan menurut Al-Ghazali harus dilihat
secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan
proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media
atau alat pengajaran.
Perihal kedua masalah ini, banyak sekali pandapat Al-Ghazali tentang metode dan
media pengajaran. Untuk metode, misalnya menggunakan metode mujahadah dan
riyadhlah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil naqli
dan aqli, serta bimbingan dan nasehat. Sedangkan media / alat digunakan dalam
pengajaran. Beliau menyetujui adanya pujian dan hukuman, di samping keharusan
menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak yang mulia.
6.
Proses Pembelajaran
Al-Ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara materi, metode dan
media atau alat pengajarannya. Seluruh komponen tersebut harus diupayakan
semaksimal mungkin, sehinggga dapat menumbuh-kembangkan segala potensi fitrah
anak, baik dalam hal usia, intelegensi, maupun minat dan bakatnya. Jangan
sampai anak diberi materi materi pengajaran yang justru merusak akidah dan
akhlaknya. Anak yang dalam kondisi taraf akalnya belum matang, hendaknya diberi
materi pengajaran yang dapat mengarahkan kepada akhlak yang mulia. Adapun ilmu
yang paling baik diberikan pada tahap pertama ialah ilmu agama dan syariat,
terutama al-Qur’an.
B.
Relevensi Pandangan Al-Ghazali Bagi Kebutuhan
Pengembangan Pendidikan Islam
Dewasa Ini Patut dibenarkan apa yang dikatakan ismail razi al-Faruqi
bahwa inti masalah yang dihadapai umat Islam dewasa ini adalah masalah
pendidikan dan tugas terberatnya adalah memecahkan masalah tersebut. Keberhasilan
dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum dapat dilihat dari outputnya,
yakni orang-orang yang menjadi produk pendidikan. Apabila sebuah proses
pendidikan menghasilkan orang-orang yang bertanggungjawab atas tugas-tugas
kemanusiaan dan tugasnya kepada Tuhan, bertindak lebih bermanfaat baik bagi
dirinya maupun bagi orang lain, pendidikan tersebut dapat dikatakan berhasil.
Sebaliknya, bila outputnya adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan
tugas hidupnya, pendidikan tersebut dianggap gagal. Ciri-ciri utama dari
kegagalan proses pendidikan ialah manusia-manusia produk-produk pendidikan itu
lebih cenderung mencari kerja dari pada menciptakan lapangan kerja sendiri.
Kondisi demikian terlihat dewasa ini, sehingga lahir berbagai budaya yang tidak
sehat bagi masyarakat luas. Diberbagai media masa telah banyak diungkapkan
mengenai rendahnya mutu pendidikan nasional kita. Keadaan ini mengundang para
cendekiawan mengadakan penelitian yang berkaitan dengan mutu pendidikan.
Berbicara mengenai mutu pendidikan masalahnya menjadi sangat komplek. Oleh
karena itu dapat disadari bahwa peningkatan mutu pendidikan tidak dapat lepas
dari proses perubahan siswa didalam dirinya. Perubahan yang dimaksud mencakup
dalam pengetahuan, sikap, dan psikomotor. Berangkat dari kondisi pendidikan
kita, seperti telah dikemukakan di atas, tampak pemikiran al-Ghazali sangat relevan
untuk dicoba diterapkan di Indonesia, yang secara gamblang menawarkan
pendidikan akhlak yang paling diutamakan . untuk lebih jelasnya, sumbangan
pemikiran al-Ghazali bagi pengembangan dunia pendidikan Islam khususnya, dan
pendidikan pada umumnya. Dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Tujuan
pendidikan
Dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali, diketahui dengan jelas
bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu:
a. Tercapainya kesempurnaan insan yang bermuara pada pendekatan diri
kepada Allah
b. Kesempurnaan
insan yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat
Pendapat al-Ghazali tersebut disamping bercorak religius yang merupakan
ciri spesifik pendidikan Islam, cenderung untuk membangun aspek sufistik.
Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai
sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Dengan demikian, modal kebahagiaan dunia
dan akhirat itu tidak lain adalah ilmu.
Secara implisit, al-Ghazali menekankan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk
insan yang paripurna, yakni insan yang tau kewajibannya, baik sebagai hamba
Allah, maupun sebagai sesama manusia. Dalam sudut pandang ilmu pendidikan
Islam, aspek pendidikan akal ini harus mendapat perhatian serius. Hal ini
dimaksudkan untuk melatih dan pendidikan akal manusia agar berfikir dengan baik
sesuai dengan petunjuk Allah dan Rosul-Nya. Adapun mengenai pendidiakn hati
seperti dikemukakan Al-Ghazali merupakan suatu keharusan hagi setiap insan. Dengan
demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya
mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia adalam upaya membentuk mausia
paripurna, berbahagia didunia dan akhirat kelak. Hal ini berarti bahwa tujuan
yang telah ditetapkan oleh imam al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan dengan
upaya pendiidkan yang melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia
secara utuh.
2.
Materi
pendidikan Islam
Imam ai-Ghazali telah mengklasifikasikan meteri (ilmu)dan menyusunnya
sesuai dengan dengan kebutuhan anak didikjuga sesuai dengan nilai yang
diberikan kepadanya. Dengan mempelajari kurikulum tersebut, jelaslah bahwa ini
merupakan kurikulum atau materi yang bersifat universal, yang dapat
dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak
merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak didik. Yang menarik adalah
hingga hari ini pendidikan Islam dinegara kita masih jauh terbelakang, dalam
arti bahwa pendiidkan Islam hari ini masih membedakan antara ilmu agama (Islam)
dan ilmu umum. Corak pembidangan ilmu itu ternyata berimbas pada orientasi
pendirian lembaga pendidikan Islam. Misalnya setingkat IAIN saja, tercermin
bahwa ilmu yang dipelajari ternyata hanya terbatas di seputas ilmu agama Islam
saja dalam arti sesempit-sempitnya. Sementara pandangan al-Ghazali pada lebih dari
seribu tahun yang lalu tidak membedakan pembidangan ilmu semacam ini di
Indonesia pada khususnya dan didunia Islam pada umumnya. Untuk menghilangkan
kesan dikotomi ilmu, dewasa ini lembaga pendiidkan tinggi Islam milik
pemerintah seperti IAIN meningkatkan lembaganya ketingkat lebih tinggi yakni
ketimhkat universitas seperti munculnya UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Bandung
dan sebagainya.
Jadi relevansi pandangan al-Ghazali dengan kebutuhan pengembangan dunia
pendidikan Islam dewasa ini sangat bertautan dengan tuntutan saat ini, baik
dalam pengertian spesifik maupun secara umum. Secara spesifik misalnya
pengembangan studi akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat disanyangkan,
materi ini telah hilang dilembaga-lembaga pendiidkan. Jangankan disekolah yang
berlabel umum, disekolah yang berlambang Islam saja bidang studi yang satu ini
sudah tidak ada. Dengan demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali tentang
pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali tentang
Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu agama dan
ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara umum umat Islam jauh
tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah satu akibat
sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi seperti itu.
3.
Metode
pendidikan Islam
Pandangan Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode barang
kali tidak ditemukan namun secara umum ditemukan dalam karya-karyanya. Metode
pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan
pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran setelah itu
penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah. Pendidikan
agama kenyataanya lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena,
pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada
pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu usaha Al-Ghazali untuk
menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan akidah
sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau
rasio bersufat sempurna maka agama, bagi murid dijadikan pembimbing akal.
Dari uraian singkat diatas dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari metode
pendidikan lebih luas daripada apa yang telah dikemukakan diatas. Aplikasi
metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat
berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu, membina dan
melatih fisik dan psikis guru itu sendiri sebagai pelaksana dari penggunaan
metode pendidikan. Nana Sudjana dan Daeng Arifin mengemukakan bahwa proses
kependidikan akan terjalin dengan baik manakala antara pendidik dan anak didik
terjalin interaksi yang komunikatif. Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan
yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan
koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini.
Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam
Al-Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Keutuhan pribadi Al-Ghazali dapat diketahui dengan memahami hasil
karyanya disemua bidang dan disiplin ilmu yang telah diselaminya dan bukan pada
satu segi saja misalnya segi tasawuf, dengan deniukian kesan Al-Ghazali hanya
sebagai sufi yang skeptis, hanya bergerak dibidang ruhani dan perasaan jiwa.
2. Pendidikan Islam
menurut imam Al-Ghazali adalah sarana perekayasaan social bagi umat Islam yang
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menuju kesempurnaan hidup manusia
hingga mencapai insane kamil yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan
kesempurnaan manusia yang bertujuan meraih kebahagiaan didunia dan diakhirat
kelak. Pencapaian lesempurnaan hidup melalui proses pendidikan juga merupakan
tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri.
3. Materi pendidikan islam menurut al-Ghazali
yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah ialah berisiskan berbagai ilmu
pengetahuan sebagai sarana yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya, sehingga
ia mendekatkan diri secara kualitatif kepada-Nya. Dan dengan begitu sipenuntut
ilmu dapat mencapai kebahagiaan didunia dan akhirat kelak
B. Saran dan
kritik
1. Pendidikan agama Islam sebagai suatu sistem hendaklah
diinterpretasikan sebagai satu kesatuan yang utuh dan bulat terdiri atas
berbagai komponen yang saling menunjang, tidak dipisah-pisahkan.
2. Untuk memahami sistem pendidikan agama Islam yang baik
dan benar hendaknya merujuk pada acuan nilai yang mendasarinya yaitu Al-Qur’an
dan As-Sunnah supaya terhindar dari kekeliruan.
3. Disamping penelaahan terhadap nilai acuan
tersebut, diperlukan acuan lainnya seperti para pemikir pendidikan muslim. Oleh
karena itu, pemikiran Imam Al-Ghazali mengenai pendidikan Islam hendaknya dapat
dijadikan sandaran bagi pengembangan pendidikan baik pendiidkan yang
bersendikan agama maupun non agama. Bahkan al-Ghazali tidak membedakan sama
sekali ilmu-ilmu itu, karena baginya ilmu adalah alat untuk mencapai keridloan
Allah
4. Upaya untuk mengaktualisasikan pemikiran
imam Al-Ghazali mengenai pendidikan hendaknya diambil dari rujukannya yang asli
untuk menjaga orisinalitas pemikiran tersebut.
5. Dengan demikian pemikiran imam al-Ghazali
ini hendaknya dijadikan rujukan bagi pengembangan ilmu pendidikan dimasa
sekarang dan yang akan datang, terutama pengembangan pendidikan bagi masyarakat
Islam yang berkualitas tidak pernah dapat mencapai ukuran berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali Tentang Pendidikan, Pustaka
Pelajar, cet I, Yogyakarta, 1998
Ø Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf (Dirasah Islamiyah IV),
Rajawali Pers, Jakarta, 1993.
Ø C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 1991.
Ø Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran Dalam Pendidikan Studi Tentang
Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali, Dina Utama, Semarang, cet I, 1993.
Ø Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, PT. Pustaka Panji Mas,
Jakarta, cet XI, 1984.
Ø Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI
Press, Jakarta, 1979.
Ø Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Dina Utama,
Semarang, cet-1, 1993.